BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Bank Syariah
pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonomi dan
praktisi perbankan muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai
pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuagnan yang dilaksanakan
sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah Islam.
Umat Islam
diharapkan dapat memahami perkembangan bank syariah dan mengembangkannya
apabila dalam posisi sebagai pengelola bank syariah yang perlu secara cermat
mengenali dan mengidentifikasi semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang
potensial untuk pengembangan bank syariah.
Pada umumnya
yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh
karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang yang merupakan
barang dagangan utamanya.
1.1.1. Perkembangan bank-bank syariah di
berbagai Negara
1. Pakistan
Pakistan
merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal juli 1979, sistim
bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi, yaitu: National Investment
(unit trust), House Building Finance (pembiayaan sektor perumahan) dan mutual
fund of the investment corporation of Pakistan (kerjasama investasi). Pada
tahun 1979-80, pemerintah mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada
petani dan nelayan.
Pada tahun 1981, seiring diberlakukannya undang-undang perusahaan mudharabah dan murabahah , mulailah beroperasi 7000 cabang bank komersial nasional diseluruh Pakistan dengan mengunakan sistim bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistim perbankan pakistan dikonversi dengan sistim yang baru, yaitu sistim perbankan syariah.
Pada tahun 1981, seiring diberlakukannya undang-undang perusahaan mudharabah dan murabahah , mulailah beroperasi 7000 cabang bank komersial nasional diseluruh Pakistan dengan mengunakan sistim bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistim perbankan pakistan dikonversi dengan sistim yang baru, yaitu sistim perbankan syariah.
2.
Mesir
Bank syariah
pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank. Bank ini mulai
beroperasi pada bulan Maret 1978, dan berhasil membukukan hasil mengesankan
dengan total asset sekitar 2 milyar dolar AS pada 1986 dan tingkat keuntungan
sekitar 106 juta dolar AS. Selain Faisal Islamic Bank for Investment dan
Development yang beroperasi dengan mengunakan instrument keuangan Islam dan
menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik sebagai bank
investasi (investment Bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank
komersial (commercial bank).
3.
Siprus
Faisal Islamic
Bank of Kibris (siprus) mulai beroperasi pada maret 1983 dan mendirikan Faisal
Islamic Investment Corporation yang memiliki 2 cabang di Siprus dan 1 cabang di
Istanbul. Dalam sepuluh bulan awal beroperasinya, bank tersebut telah melakukan
pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar TL 450 juta (TL atau Turkey
Lira, mata uang Turki).
Bank ini juga
melakukan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah, dengan tingkat
keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran bank Islam di
Siprus telah mengerakan masyarakat untuk menabung, bank ini beroperasi dengan
mendatangi desa-desa, pabrik dan sekolah dengan mengunakan kantor kas (mobil)
keliling untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain kegiatan-kegiatan
diatas, mereka juga mengelola dana-dana lainnya seperti al qardhul hasan dan
zakat.
4.
Kuwait
Kuwait Finance
House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan sistim tanpa
bunga. Institusi ini memiliki 8 cabang di Kuwait, dan telah menunjukkan
perkembangan yang cepat. Selama 2 tahun saja, yaitu 1980 – 1982, dana
masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474
juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai KD 803 juta dan tingkat
keuntungan bersih mencapai KD 17 juta.
5.
Bahrain
Massaf Faisal al
Islami Bahrain mulai beroperasi pada Desember 1982. Akhir 1985, total asset
telah mencapai 677 juta dolar AS dengan keuntungan sebesar 2,6 juta dolar.
6.
Uni Emirat Arab
Dubai Islamic
Bank merupakan salah satu pelopor bank syariah. Didirikan pada tahun 1975
investasinya meliputi bidang perumahan. Proyek-proyek industri, dan aktivitas
komersial. Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan
yang lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional.
7.
Malaysia
Lembaga keuangan
syariah di Malaysia telah muncul sejak 1969 dan telah berevolusi sebagai
komponen yang viable dan kompetitif dari sistim keuangan secara keseluruhan.
Strategi yang diambil, dengan dukungan penuh dari pemerintah, adalah
mengembangkan sistim keuangan Islam yang menyeluruh yang beroperasi
berdampingan dengan sistim konvensional, terutama infrastruktur perbankan
syariah, assuransi syariah, dan pasar keuangan (pasar modal dan pasar uang)
syariah. Intradependency dari komponen struktural ini menciptakan enabling
environment bagi sistim keuangan untuk beroperasi secara efisien.
Kesimpulannya,
dalam mengembangkan sistim keuangan syariah, pemerintah Malaysia menempuh
“pragmatic and gradual approach”, mengembangkan sistim yang menyeluruh, dan
memberikan komitment yang kuat untuk memastikan keberhasilannya. Sistim
keuangan Islam harus didukung oleh “enabling” infrastruktur keuangan Islam
dalam bentuk pengembangan institusional, kerangka regulasi, dan kerangka legal
dan syariah.
8.
Iran
Perkembangan
bank syariah di Iran di mulai sejak Januari 1984 berdasarkan ketentuan
/undang-undang yang disetujui pemerintah pada bulan agustus 1983. sebelum
undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar
lebih dari 100 milyar rial yang diadministrasikan sesuai dengan sistim syariah.
Hingga bulan oktober 1983, sebanyak 20.000 karyawan bank di Iran telah
mengikuti pelatihan sistim perbankan syariah.
9.
Turki
Baru pada tahun
1984, pemerintah Turki memberikan izin kepada Daar al Maal al Islami (DMI)
untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan bagi hasil. Hal ini karena
menurut ketentuan Bank sentral Turki, bank syariah diatur dalam satu yurisdiksi
khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan desember 1984 didirikan pula Faisal
Finance Institution dan mulai beroperasi pada bulan april 1985.
1.1.2.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Bank syariah di Indonesia belum lama berkembang jika
dibandingkan dengan bank syariah di negara-negara Timur Tengah seperti Pakistan
dan Mesir, yang telah berkembang dan maju dengan demikian pesat. Secara
kuantitatif, perkembangan bank syariah belum dapat dikatakan menggembirakan,
namun secara kualitatif khususnya ketika Indonesia mengalami krisis moneter
yang terjadi mulai pertengahan tahun 1997 hingga sekarang, bank syariah
terbukti telah menunjukkan ketangguhannya. PT. Bank Muamalat Indonesia yang
merupakan bank syariah pertama di Indonesia ternyata tetap dalam posisi sehat
dimana banyak bank-bank umum konvensional saat itu mengalami kesulitan.
Sebanyak 16 bank konvensional pada awal tahun 1998 terpaksa harus ditutup
menyusul kemudian sebanyak 55 bank termasuk kategori bemasalah.
Ketangguhan bank syariah juga dapat diamati pada 77
Bank Perkreditan Rakyat syariah yang lebih dari 30 persen dalam keadaan sehat
sementara hampir semua Bank Perkreditan Rakyat konvensional kemungkinan
termasuk kategori bank bermasalah.
Pada triwulan I 2008 jumlah bank syariah di Indonesia mencapai 31 Bank, terdiri dari tiga institusi Bank Umum Syariah (BUS), yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah serta 28 Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai cabang bank umum konvensional seperti Bank BNI, Bank IFI, dan BRI.
Pada triwulan I 2008 jumlah bank syariah di Indonesia mencapai 31 Bank, terdiri dari tiga institusi Bank Umum Syariah (BUS), yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah serta 28 Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai cabang bank umum konvensional seperti Bank BNI, Bank IFI, dan BRI.
Perkembangan bank syariah di Indonesia mengikuti tiga
tahapan, yaitu tahapan perkenalan (introduction), tahap pengakuan
(recognition), dan tahap pemurnian (purification).
1. Tahap perkenalan (introduction)
1. Tahap perkenalan (introduction)
Tahap perkenalan terjadi pada tahun 1991 sampai tahun
1997. Pada tahap ini, masih terdapat perdebatan di masyarakat mengenai nama
dari produk-produk perbankan syariah apakah harus menggunakan bahasa aslinya,
seperti al-mudharabah, al-musyarakah, al-murabaha, al-bai’u bithaman ajil,
as-Salam, al-Istishna, al Ijarah, ar-Rahn, al-Kafalah, dan lain-lain, atau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Para penggagas perbankan syariah saat itu bersepakat
untuk tetap mempertahankan nama-nama produk bank syariah sesuai bahasa aslinya
karena makna dalam bahasa aslinya lebih dalam sehingga apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia akan menjadi panjang dan menghilangkan makna dalamnya.
Antara tahun 1997 hingga tahun 1999 merupakan
pembuktian akan ketangguhan konsep system perbankan syariah dimana pada saat
itu Indonesia mengalami krisis multi dimensional. Ketika itu sector perbankan
dihantam malapetaka yang amat parah, namun ternyata perbankan syariah yang baru
“seumur jagung” tersebut mampu bertahan dalam posisi sehat. Fenomena tersebut
membuat banyak pakar ekonomi kemudian menoleh kepada perbankan syariah sebagai
suatu system perbankan yang patut untuk dipelajari dan dikembangkan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, ternyata kepentingan umat Islam akan adanya lembaga
keuangan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas belum cukup
terakomodir. Terdapat beberapa kelemahan pada tersebut. Selama enam tahun
beroperasi, selain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 1992, tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang
mendukung system perbankan syariah. Keadaan ini memaksa perbankan syariah
menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (notabene
berbasis bunga/konvensional), di Indonesia.
Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat menjadi
tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional
(shariahlife.wordpress.com). Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut,
maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang memberi amanat kepada Bank Indonesia agar mengembangkan dan
membina perbankan syariah.
2. Tahap pengakuan (recognition)
2. Tahap pengakuan (recognition)
Tahap pengakuan akan keunggulan bank syariah ini
ditandai dengan dibentuknya Biro Perbankan Syariah pada tahun 2001 oleh Tim
Pengembangan Perbankan Syariah dalam rangka pengembangan dan pembinaan
perbankan syariah di Indonesia. Karena beban kerja semakin meningkat dan tugas
yang semakin kompleks, biro ini ditingkatkan menjadi Direktorat Perbankan
Syariah pada tahun 2003.
Menurut Ascarya (2007:203), “selain menganut strategi
market driven dan fair treatment, pengembangan perbankan syariah di Indonesia
dilakukan dengan strategi pengembangan bertahap yang berkesinambungan (gradual
and sustainable approach) yang sesuai dengan prinsip Syariah (comply to Sharia
principles)”.
Tahapan-tahapan implementasi dan prioritas
inisiatif-inisiatif yang perlu dilaksanakan tertuang dalam Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia pada bulan September 2003. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1) Tahap I (2002-2004), yaitu meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan industri.
2) Tahap II (2005-2009), yaitu memperkuat struktur industri perbankan syariah.
3) Tahap III (2010-2012), yaitu memenuhi standar keuangan dan mutu pelayanan internasional.
4) Tahap IV (2013-2015), yaitu terbentuknya integrasi lembaga keuangan syariah.
1) Tahap I (2002-2004), yaitu meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan industri.
2) Tahap II (2005-2009), yaitu memperkuat struktur industri perbankan syariah.
3) Tahap III (2010-2012), yaitu memenuhi standar keuangan dan mutu pelayanan internasional.
4) Tahap IV (2013-2015), yaitu terbentuknya integrasi lembaga keuangan syariah.
Sedangkan prioritas yang harus dilakukan pada setiap
tahapan adalah mengarahkan kepatuhan kepada prinsip Syariah, ketentuan
kehati-hatian, efisiensi operasi dan daya saing, kestabilan system dan
kemanfaatan bagi perekonomian.
3. Tahapan pemurnian (purification)
3. Tahapan pemurnian (purification)
Tahap ini dimulai sejak tahun 2002, sejalan dengan
prioritas pertama dari inisiatif yang harus dilakukan agar perbankan syariah
selalu mematuhi prinsip Syariah. Tahap pemurnian ini mengarah kepada praktik
perbankan yang kaaffah (sempurna), yang merupakan tahap terpenting, tersulit,
dan mungkin yang terpanjang. Karena, selama masyarakat masih belum merasakan
kenyamanan yang berbeda dalam berbagai aspeknya dengan praktik perbankan
konvensional, maka usaha pemurnian menujup perbankan syariah yang kaaffah belum
selesai dan harus terus dilanjutkan.
Pada tanggal 17 Juni 2008, DPR-RI telah mengesahkan
Undang-Undang Perbankan Syariah. Dengan diberlakukannya undang-undang yang
memiliki pasal khusus tentang pengaturan sistem perbankan syariah tersebut,
maka akan semakin besar peluang usaha bagi perbankan syariah untuk berkembang
di Indonesia. Undang-Undang baru ini diharapkan dapat meningkatkan akselerasi
pertumbuhan perbankan syariah menjadi lebih signifikan.
Selain itu, unit usaha syariah (UUS) yang ada dapat
didorong untuk menjadi bank syariah yang mandiri. Isi dari Undang-Undang
Perbankan Syariah tersebut yang dapat membuka lebar peluang bagi berkembangnya
perbankan syariah adalah :
1.
Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak
dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat
dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7).
2.
Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara
Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat
2).
3.
Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha
Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai asset
paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak
berlakunya UU Perbankan Syariah. (Pasal 68 ayat 1).
4.
Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan
hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk
mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b).
5.
Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung
maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1).
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa banyak
faktor yang dapat mendorong pesatnya perkembangan perbankan syariah di
Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang.
Lebih jauh lagi kami akan
membahas Bank Syariah untuk lebih mengetahui apa saja Prinsip dasar Bank
Syariah, Sistem Operasional Bank Syariah, dan Perkembangan Lembaga keuangan
Bank syariah.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan Latar belakang di atas ,
maka ada beberapa permasalahan yang dapat di sajikan yaitu :
1. Bagaimana
Prinsip Dasar Bank Syariah?
2. Bagaimana
Sistem Operasional Bank Syariah?
3. Bagaimana
Perkembangan Lembaga keuangan Bank Syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Prinsip
Dasar Bank Syariah.
Pengertian Bank Syariah, Menurut Undang-undang No.10 tahun 1998 bank syariah
adalah Bank yang
melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
Prinsip syariah menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.10 tahun
1998 tentang perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara
bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem
perbankan syariah antara lain
- Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
- Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
- Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
- Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
- Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada
akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan
sistem ekonominya.
Prinsip dasar operasional bank
Islam/ syariah tidak mengenal adanya konsep bunga uang dan yang tidak kalah
pentingya adalah untuk tujuan komersial, Islam tidak mengenal peminjaman uang
tetapi adalah kemitraan/ kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip
bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan social tanpa
adanya imbalan apapun.
Perkembangan bank-bank syariah di
dunia dan di Indonesia mengalami kendala karena bank syariah hadir di tengah-tengah
perkembangan dan praktik-praktik perbankan konvensional yang sudah mengakar
dalam kehidupan masyarakat secara luas. Kendala yang dihadapi oleh perbankan
(lembaga keuangan) syariah tidak terlepas dari sebelum tersedianya sumber daya
manusia secara memadai dan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat
bahwa di masing-masing Negara, terutama yang masyarakatnya mayoritas muslim,
tidak mempunyai infrastruktur pendukung dalam operasional perbankan syariah
secara merata. Konsekuensi perkembangan di masing-masing Negara tersebut
tentunya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan perbankan syariah di dunia. Apalagi pada saat ini produk-produk
keuangan semakin cepat perkembangannya.
Pesatnya pertumbuhan bank syariah di
Indonesia juga belum seiring dengan pemahaman dan pengetahuan masyarakat
tentang sistem operasional perbankan syariah. Meski bank syariah terus
berkembang setiap tahunnya, banyak masyarakat Indonesia yang masih belum
mengenal apa dan bagaimana bank syariah menjalankan kegiatan bisnisnya.
Pendapat mereka produk-produk yang
ditawarkan oleh bank syariah hanyalah produk-produk bank konvensional yang
dipoles dengan penerapan akad-akad yang berkaitan dengan syariah. Sehingga hal
ini justru memunculkan anggapan negative masyaraka bahwa kata syariah hanya
sekedar lipstick dalam perbankan syariah.
Masih terdapat kebingungan pada
karakteristik dasar yang melandasi sistem operasional perbankan syariah, yakni
sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dalam prakteknya dipandang masin
menyerupai sistem bunga bagi bank konvensional. Penyaluran dana bank syariah
leibh banyak bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan
berdasarkan margin, yang masih dianggap oleh masyarkat hanyalah sekedar polesan
dari cara pengambilan bunga pada bank konvensional.
Mereka masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi
hasil, margin dan bunga bank konvensional. Kalupun bias hanyalah pada tataran
teorinya saja, sedangkan prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi
hasil, margin dan bunga.
Secara garis besar hubungan ekonomi berdasarkan
Syariah Islam tersebut ditentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari tujuh (5)
dasar akad. Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan
produk-produk lembaga keuangan Bank Syariah dan lembaga keuangan bukan Bank
Syariah untuk dioperasionalkan.
Kelima konsep tersebut adalah:
1. Prinsip Mudharabah
Merupakan Perjanjian antara dua pihak dimana pihak
pertama sebagai pemilik dana (sahibul maal) dan pihak kedua sebagai
pengelola dana (mudharib) untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan
menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh, sedangkan
kerugian yang timbul adalah risiko pemilik dana kecuali mudharib
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabah
dibedakan menjadi :
o
Mudharabah mutlaqah, dimana mudharib
diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang
dikehendaki,
o
Mudharabah muqayyaddah, dimana
arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana sedangkan mudharib
bertindak sebagai pelaksana/pengelola.
2. Prinsip Musyarakah
Merupakan akad kerja sama antara
dua pihak atau lebih untuk lebih suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Jenis dari akad musyarakah ini ada
dua :
·
musyarakah pemilikan dan
·
musyarakah kontrak.
3. Prinsip Wadi’ah(Simpanan Murni)
AL-WADI’AH merupakan
fasilitas yang diberikan oleh Bank Syariah untuk memberikan kesempatan kepada
pihak yang mempunyai dana lebih untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al-Wadi’ah.
Fasillitas ini biasanya diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan
keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan
konvensional konsep Al-Wadi’ah identik dengan Giro.
Adapun
beberapa istiah yaitu :
Ø Penerima simpanan
disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si penyimpan
tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada
titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang
bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
Ø Penggunaan
uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan
catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut secara
utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad
adh-dhamanah (tangan penanggung).
Ø Konsekuensi
dari diterapkannya prinsip yad adh-dhamanah pihak bank akan menerima
seluruh keuntungan dari penggunaan uang, namun sebaliknya bila mengalami
kerugian juga harus ditanggung oleh bank.
Ø Sebagai
imbalan kepada pemilik dana disamping jaminan keamanan uangnya juga akan
memperoleh fasilitas lainnya seperti insentif atau bonus untuk giro wadiah.
Artinya bank tidak dilarang untuk memberikan jasa atas pemakaian uangnya
berupa insentif atau bonus, dengan catatan tanpa perjanjian terlebih dulu baik
nominal maupun persentase dan ini murni merupakan kebijakan bank sebagai
pengguna uang. Pemberian jasa berupa insentif atau bonus biasanya digunakan
istilah nisbah atau bagi hasil antara bank dengan nasabah. Bonus
biasanya diberikan kepada nasabah yang memiliki dana rata-rata minimal yang
telah ditetapkan.
Ø Dalam
praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib)
biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan
tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
Adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana
atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi
titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat
dikenakan biaya penitipan.Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah
dibedakan menjadi :
o
Wadi’ah yad dhamanah, yang berarti
penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan
tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip
dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, contoh
Giro, Tabungan, Deposito.
o
Wadi’ah Amanah tidak memberikan kewenangan kepada
penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan, contoh Safe
Deposite Box (SDB).
4.
Prinsip At-Tijarah (Jual Beli)
AT-TIJARAH merupakan
suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli dimana bank akan memberi
terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen
bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah beli ditambah keuntungan
(margin).Prinsip At-Tijarah terdiri dari :
1.
Bai’al
Murabahah
Akad jual
beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati harga jual
yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi
penjual. Nasabah membayar harga barang pada jangka waktu tertentu yang telah
disepakati.
2.
Bai’
as-Salam
Pembelian
barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian
3.
Bai’
al-Ishtisna
Merupakan
kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat
barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui
orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah
disepaati dan menjualnya kepada pembeli akhir.
Prinsip Al-
Ajr Wal Umullah (Jasa-Jasa)
:
AL- AJR WAL UMULLAH meliputi
seluruh layanan no-pembiyaan yang diberikan Bank. Bentuk produk yang
berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, kliring, inkaso, jasa
transfer. Secara Syariah Prinsip ini didasarkan pada konsep Al Ajr Wal
Umullah.Prinsip Al- Ajr Wal Umullah terdiri dari :
1.
Ijarah
Akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri, bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir
masa sewa disebut Ijarah mumtahiyah bit tamlik (IMBT).
2.
Wakalah
Pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan.
3.
Kafalah
Jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil), dan
penanggung dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
4.
Sharf
Transaksi jual beli mata uang, baik
antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dengan
penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga
pasar pada saat pertukaran
5.
Prinsip Kebajikan
Yaitu penerimaan dan penyaluran dana
kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah (ZIS) dan lainnya, serta
penyaluran qardul hasan yaitu penyaluran dalam bentuk pinjaman untuk
tujuan menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta
imbalan kecuali pengembalian pokok hutang.
2.2.
Sistem
Operasional Bank Syariah.
Prinsip utama operasional bank berdasarkan Prinsip
Syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Kegiatn
operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan kedua sumber
tersebut. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat
diklasifikasikan sebagai riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan
prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem
pemberian imbalan atau jasa atas dana.
Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan
Prinsip Syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan
atas dana yang digunakan atau ditipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan
terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan
pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Perlu diakui bahwa ada
sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa sistem bunga yang ditetapkan oleh
bank konvensional merupakan pelanggaran terhadap prinsip syariah.
Dalam hukum Islam, bunga adalah riba dan diharamkan. Ditinjau
dari sisi pelayanan terhadap masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar
prinsip Syariah merupakan usaha untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar
perbankan yang tidak setuju atau tidak menyukai sistem bunga.
1.
SISTEM PENGHIMPUNAN DANA
Metode penghimpunan dana yang ada pada Bank-bank
konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa
orang membutuhkan uang untuk tiga Kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan,
dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan
tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
Berbeda dengan hal berikut, bank syariah tidak
melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi
nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri
atas:
a.
Sumber Dana
Sebagai
salah satu lembaga yang berfungsi untuk mengimpun dana masyarakat, bank syariah
harus memiliki sumber dana optimal sebelum disalurkan kembali ke masyarakat.
Disamping itu, sebagai bang syariah yang di tuntut untuk mempraktikan kaidah
Islam, maka perlu dipahami terlebih dahulu dana masyarakat dan
transaksi-transaksinya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sumber dana
yang dapat dihimpun dari masyarakat terdiri dari (3) tiga jenis dana, yaitu
dana modal yaitu dana dari pendiri bank dan dari para pemegang saham tersebut ,
dana titipan masyarakat baik yang dikelola oleh bank dalam sistem Wadi’ah,
maupun yang diinvestasikan melelui bank dalam bentuk dana investasi khusus
(Mudhrabah Muqayyadah) atau investasi terbatas (Mudhrabah Muqayyadah) serta dana
zakat, infak, dan sadaqah.
ü Modal
Modal merupakan dana (dalam bentuk pembeliaan saham) yang disediakan oleh
pemilik yang mempunyai hak untuk memperoleh dividen dan penggunaan modal yang
disertakan tersebut. Dalam perbankan syariah, mekanisme penyertaan modal
pemegang saham dapat dilakukan melalui musyawarah fi sahm asy-syariqah atau
equity partcipation pada saham perseroan bank.
ü Dana titipan
masyarakat.
ü Dana dari
ZIS
Dana ini peruntukannya jelas satu dari ciri khas bank syariah selain
mengelola dana untuk kepentingan komersial bank juga harus berfungsi sebagai
pengelola dana untuk kepentingan sosial. Dalam pelaksanaannya, bank syariah
dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga sosial lainnya yang bergerak di
bidang pemberdayaan perekonomian masyarakat seperti Dompet Dhuafa, Forum Zakat
(FOZ), dan Badan Amil Zakat (BAZ)
b.
Titipan (Al-Wadiah)
Salah satu
prinsip yang digunakan bank syariah dalam penghimpunan dana adalah dengan
menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah
Al-Wadiah. Al-Wadiah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil
jika pemiliknya menghendaki. Secara umum terdapat dua jenis Al-Wadiah, yaitu:
1.
Wadiah Yad Al-Amanah. Jenis ini mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
ü Harta atau
benda yg dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima
titipan.
ü Penerima
titipan (bank) hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa mengambil manfaatnya.
ü Sebagai
kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya (Fee) kepada
yang menitipkan.
Adapun bentuk aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box.
Adapun bentuk aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box.
2.
Wadiah Yad Adh-Dhomah. Wadiah jenis ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
ü Harta atau
benda yang dititipkan diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh penyimpan.
ü Apabila ada
hasil dari pemanfaatan benda titipan, maka hasil tersebut menjadi hak dari
penyimpanan. Tidak ada kewajiban dari penyimpan untuk memberikan hasil tersebut
kepada penitip sebagai pemilik benda
Prinsip ini di aplikasikan dalam bentuk giro dan tabungan. Namun perlu ditekankan disini bahwa bank tidak memperjanjikan hasil dari benda titipan yang di manfaatkan tersebut kepada nasabah. Pemberian hasil hanya sebagai bonus dari kebijakan bank dan tidak ditentukan atau disebutkan dalam akad.
Prinsip ini di aplikasikan dalam bentuk giro dan tabungan. Namun perlu ditekankan disini bahwa bank tidak memperjanjikan hasil dari benda titipan yang di manfaatkan tersebut kepada nasabah. Pemberian hasil hanya sebagai bonus dari kebijakan bank dan tidak ditentukan atau disebutkan dalam akad.
3.
Investasi (Mudharabah)
Akad yang sesuai dengan prinsip investasi adalah mudharabbah yang mempunyai
tujuan kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana
(mudharib), dalam hal ini adalah bank. Pemilik dana sebagai deposan dibank
syariah berperan sebagai investor murni yang menanggung aspek sharing risk dan
return dari bank. Dengan demikian deposan bukanlah lander atau kreditor bagi
bank seperti halnya pada bank konvensional. Secara garis besar mudharabbah
terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
ü Mudharabah
Muthlaqah
Dalam prinsip ini hal utama yang menjadi cirinya
adalah shahibul maal tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang
diinvestasikannya atau dengan kata lain, mudharib di beri wewenang penuh
mengelola tanpa terikat waktu, tempat, jenis, usaha, dan jenis pelayanannya.
Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalh tabungan dan deposito
berjangka.
ü Mudharabah
Muqayyadah.
ü Pada jenis
akad ini, shahibul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya.
Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan jenis usaha,
tempat, dan waktu tertentu saja. Aplikasinya dalam perbankan adalah special
investment based on restricted mudharabah. Model ini dirasa sanagt cocok pada
saat krisis dimana sektor perbankan mengalami kerugian meyeluruh. Dengan
special investmen, investor tertentu tidak perlu menanggung over head bank yang
terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus dengan return dan
cost yang dihitung khusu pula.
2.
SISTEM
PENYALURAN DANA (Financing)
Bank syariah sebagai suatu lembaga
keuangan akan terlibat dengan berbagai jenis kontrak perdagangan syariah. Semua
elemen kontrak sudah pasti mempunyai asas dan prinsip yang jelas secara
syariah. Penyakluran dana perbankan syariah dapat dikategorikan menjadi dua
bentuk, yaitu:
a. Equity Financing
Bentuk ini terbagi pula dalam pilihan skim mudharabah muthalaqah/muqayyadah atau dalam bentuk musyarakah.
Bentuk ini terbagi pula dalam pilihan skim mudharabah muthalaqah/muqayyadah atau dalam bentuk musyarakah.
ü Al-Mudharabah
Dari segi konsep dasar, mudharabah yang akan
dijelaskan disini sama dengan mudharabah yang telah dijelaskan sebelumnya dalam
penghimpunan dana bank (deposit nasabah), namun ada yang membedakannya.
Al-Mudharabah pada pelaksanaan deposit nasabah, maka nasabah sebagai penyandang
dana bertindak sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib (pengelola
dana).
Sedangkan pada skim pembiayaan, bank bertindak sebagai
shahibul maal dan pengelola usaha bertindak sebagai mudharib. Fasilitas ini
dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara
periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah
mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian
bank.
Dalam pelaksanaaan kontrak AL-Murabahah, bank tidak
dibenarkan meletakkan kolateral (jaminan) kepada nasabah, karena ia bukan
bersifat utang, ia bersifat kerja sama dengan modal kepercayaan antara bank dan
nasabah. Dengan kata lain, masing-masing pihak mempunyai bagian atas hasil
usaha bersama tersebut dan juga beban risikonya (full investment).
ü Al-Musyarakah
Yang
dimaksud dengan musyarakah adalah akad antara dua orang atau lebih dengan
menyertakan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi yang
disepakati. Musyarakah lebih dikenal dengan sebutan syarikat merupakan gabungan
pemegang saham untuk membiayai suatu proyek, keuntungan dan proyek tersebut
dibagi menurut presentse yang disetujui, dan seandainya proyek tersebut
mengalami kerugian, maka beban kerugian tersebut ditanggung bersama oleh pemegang
saham secara proporsional.
Bank syariah
dalam aplikasinya hanya menggunakan instrumen syarikat Al-Man, karena jenis
syarikat inilah yang lebih sesuai dengan keadaan perdagangan saat ini.
produk-produk yang dikeluarkan melalui syarikat biasanya beraneka ragam,
diantaranya modal ventura, dimana bank ikut memberi modal terhadap suatu
perusahaan dan dalam jangka waktu tertentu akan melepas kembali saham
perusahaan tersebut kepad rekan kongsi dan kemungkinan juga tetap bermitra
untuk jangka panjang.
Di Indonesia, sudah ada banyak bank syariah yang
melakukan produk seperti ini, dan jenis usaha yang dibiayai antara lain
perdagangan, industri (manufacturing), usaha atas dasr kontrak dan lain
sebagainya.dalam kontrak Al-Musyarakah, bank juga tidak boleh memberatkan
nasabah dengan persyaratan agunan atau kolateral, karena kontrak ini berbentuk
kerja sama dan bukan utang-piutang. Kesalahan pada pembebanan jaminan menyebabkan
kontrak menjadi fasad.
b.
Debt
Financing.
Debt Financing adalah dalam teori meliputi objek-objek
berupa pertukaran antara barang dengan barang (barter), barang dengan uang,
uang dengan barang, dan uang dengan uang. Mengenai objek pertama dan terakhir
terdapat permasalahan pertukaran antara barang dengan barang dipertimbangkan
dapat menimbulkan ribah fadhal.
Sedangkan pertukaran antara uang dengan uang pun
demikian, di khawatirkan dapat menimbulkan ribah nasiah. Pertukaran antar uang
dengan uang (sharf) dalam perbankan syariah dimasukkan dalam bidang jasa
pertukaran uang, yang mensyaratkan pertukaran langsung tanpa penundaan
pembayaran. Oleh karena itu dalam operasional perbankan syariah hanya digunakan
dua objek lainnya, yaitu pertukaran antara barang dengan barang dan uang dengan
uang.
1.
Barang dengan uang
Transaksi barang dengan uang yang dapat di lakukan dengan skim jual beli (ba’i) atau pun sewa menyewa (ujrah). Yang termasuk skim jual beli adalah:
Transaksi barang dengan uang yang dapat di lakukan dengan skim jual beli (ba’i) atau pun sewa menyewa (ujrah). Yang termasuk skim jual beli adalah:
·
Ba’i Al-Murabahah
Skim ini
adalah bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati, dalam ba’i Al- murabahah, penjual harus menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya (mark up). margin keuntungan adalah selisih
harga jual dikurangi harga asal yang merupakan pendapat bank. Pembayaran dari
harga barang dilakukan secara tangguh atau dengan kata lain dibayar lunas pada
waktutertentu yang disepakati. Dari segi hukumnya bertransaksi dengan
menggunakan elemen murabahah ini adalah suatu yang dibenarkan dalam islam.
Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah
ditetapkan.
Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
a.
Pembeli hendaklah betul-betul mengetahui modal
sebenarnya dari suatu barang yang hendak dibeli.
b.
Penjual dan pembeli hendaklah setuju dengan kadar
untung atau tambahan harga yang ditetapkan tanpa ada sedikit pun paksaan.
c.
Barang yang dijualbelikan bukanlah barang barang
ribawi.
d.
Sekiranya barang tersebut telah dibeli dari pihak
lain, jual beli yang pertama itu mestilah sah menurut perundangan Islam.
Sedangkan
rukun jual beli murabahah adalah:
a.
Penjual (ba’i)
b.
Pembeli (musytariy)
c.
Barang (mabi’)
d.
Sighat dalam bentuk ijab kabul.
·
Ba’i Bithaman Ajil
Bagi orang
yang membutuhkan biaya untuk keperluanproduktif ataupun konsumtif, ia dapat
menggunakan konsep ini dalam berkontrak. Hal karena prinsip ini memberikan
ruang kepada nasabah untuk membeli sesuatu dan cara pembayaran yang
ditangguhkan arau secara diangsur (al-taqsid).Sedangkan yang termasuk skim
sewa-menyewa (ujrah):
a.
Al-Ijrah (operasional Lease)
Konsep ini
secara etimologi erarti upah atau sewa. Ahli sewa islam mendefinisikan dengan
menjual manfaat, kegunaan, jasa dengan bayaran yang ditetapkan. Konsep ini
tidak sama dan tidak dapat dikaitkan dengan jual-beli, sebab akad jal beli
adalah kekal (muabbadan), sedangkan al-ijarah akad ini dalam masa teertentu
(muaqqatan). Bank syariah mengaplikasikan elemen ini dengan berbagi bentuk
produk yang diletakkanpada skim pembiayaan, diantara caranya adalah:
v Bank dapat
memberi pembiayaan kepada nasabah untuk tujuan mendapatkan penggunaan manfaat
sesuatu harta dibawah elemen al-ijarah.
v Bank terlebih
dahulu membeli harta yang akan digunakan oleh nasabah, kemudian bank menyewakan
kepada nasabah menurut tempo yang dikehendaki, kadar sewaan, dan syarat-syarat
lain yang disetujui kedua belah pihak.
b.
Ijarah wa iqtina (finansial lease)
Skim ini
merupakan bentuk lain dari ijarah di mana persewaan berakhir dengan perpindahan
hak milik dan objek sewa. Skim ini lebih banyak dipakai pada perbankan
karenalebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank sendiri tidak direpotkan
untuk pemeliharan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
2. Uang dengan
Barang.
Pertukaran ini dapat dilakukan dengan skim:
a.
Ba’i as-Salam (In-front Payment Sale)
Skim ini
secara terminologi berarti menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,
atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan secara jelas dengan
pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.
Di dalam masyarakat, skim ini lebih dikenal dengan jual beli pesanan atau
inden. Dalam transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya pengukuran atau
spesifikasi barang yang jelas dan keridhaan para pihak.
Dalam teknis
perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dan nasabah
dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati
bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang
melainkan dalam bentuk tunai yang dibayar segera.
b.
Ba’i al-Istishna(istisna sale).
Skim ini
adalah akad jual beli antara pemesan/pembeli dengan produsen atau penjual di
mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dahulu dengan
kriteria yang jelas. Dalam literatur fikih klasik disebutkan istishna sebagai
lanjutan dari ba’i as-salam, sehinggaa ketentuan dan aturannya mengikuti akad
ba’i as-salam. Adapun yang membedakannya dengan as-salam adaah pada metode
pembayaran sifat kontraknya.
Pada ba’i
as-salam, pembayaran lebih bersifat fleksibel di mana tidak dilakukan secara
lunas tetapi bertahap sesuai dengan barang yang diterima pada termin waktu
tertentu. Sifat kontrak pada skim baik as-salam adalah mengikat secara asli
(thabi’i) pada semua pihak dari semula, sedangkan pada istishna, bersifat
mengikat ecara ikutan untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan
begitu saja oleh konsumen.
3.
JASA LAYANAN
PERBANKAN
1.
Al-Wakalah (Deputyship)
Adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak
pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama
pihak pertama.
Dalam aplikasinya dalam perbankan syariah, wakalah
biasanya diterapkan dalam penerbitan Letter Of Credit(L/C) atau penerusan
permintaan akan barang dalam negeri dari bank di Luar Negeri(L/C Ekspor).Wakalah
juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
2.
Kafalah(Gauranty)
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, kafalah
adalah menjadikan seseorang (penjamin)ikut bertanggung jawab atas tanggung
jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang. Aplikasinya dalam dunia
perbankan adalah penerbitan garansi bank (Bank Guarantee). Ada beberapa jenis
wakalah, yaitu:
v Kafalah bin
Nafs, yaitu akad memberikan jaminan atas diri si penjamin (personal guarantee).
v Kafalah
bil-Maal, yaitu jaminan pembayaran atau pelunasan utang. Dalam aplikasinya di
perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (Advance Payment Bond) atau jaminan
pembayaran (Payment Bond).
v Kafalah
Mualaqah dan Munjazah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun waktu dan
untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk
pelaksanaan suatu proyek (Performence Bond) atau jaminan penawaran (Bid Bond).
v Kafalah Bit
Taslim, yaitu penjaminan atas pengembalian atas barang sewa pada saat jangka
waktu habis.
3.
Hawalah (Transfer Service)
Hawalah akad pemindahan utang atau piutang suatu pihak
kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang
(muhil atau madin), pihak yang memberi utang(muhal atau da’iin) dan pihak yang
menerima pemindahan (muhal ‘alaih). Akad hawalah diterapkan pada hal-hal berikut:
Ø Factoring
atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang itu kepada bank.
Ø Post-dated
Check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar terlebih dahulu
piutang tersebut.
Ø Bill
Discounting, dimana pada prinsipnya sama dengan pelaksanaan konsep hawalah,
hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee yang tidak dikenal
pada hawala.
4.
Ju’alah
Jualah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama
menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu
tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak
pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai
pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti referensi bank, informasi
usaha dan lain sebagainya.
5.
Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan yang diterimanya. Barang yang dithan tersebut harus memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan dapat memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Aplikasinya
dapat berupa lembaga gadai dan pada bank diterapkan sebagai collateral atas
suatu pembiayaan/pinjaman.
6.
Al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)
Al-Qardh adalah pembelian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan. Dalam literatur fikih klasik, ard dikategorikan dalam akad tathawwui
atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Sedangkan aplikasinya
dalam dunia perbankan syariah dapat berupa al-Qard al-Hasan sebagai bentuk
sumbangsih kepada dunia usaha kecil. Di indonesia sendiri, dana untuk skim ini
berasal dari dana Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah (BAZIS). Pada prinsipnya
qardhul hasan merupakan pinjaman dengan tujuan kebajikan, dimana peminjam hanya
perlu membayar jumlah uang yang dipinjamkan tanpa membayar tambahan.
7.
Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara uangdengan
uang. Pengertian pertukaran uang yang dimaksud disini yaitu pertukaran valuta
asing , dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau
mata uang lainnya.
2.3.
Perkembangan
Lembaga keuangan Bank Syariah
Lembaga keuangan merupakan
semua lembaga yang bergerak dibidang keuangan, menarik uang dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kedalam masyarakat, ada dua lembaga
keuangan, yaitu diantaranya ada lembaga keuangan bukan bang dan lembaga
keuangan khusus. Lembaga keuangan bukan bank yaitu lembaga atau badan yang
melakukan kegiatan dibidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung
menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya
kedalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Sedangkan
lembaga keuangan khusus yaitu suatu lembaga atau adan usaha yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dengan mengeluarkan
surat-surat berharga yang dilakukan oleh perbankan.
Lembaga keuangan Islam
kontemporer yaitu suatu lembaga atau badan yang bergerak dibidang keuangan yang
kegiatannya menarik uang atau dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali
kedalam masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip Islam yang sudah
dikombinasi berbagai macam sesuai dengan keadaan dimana perkembangan ekonomi di
era kontemporer namun tetap berada dalam koridor Islam dan merujuk pada kitab-kitab
fiqih klasik maupun kontemporer.
Lembaga keuangan Islam
kontemporer itu diantaranya adalah perbankan syariah yang gencar sekali
dibicarakan oleh kalangan pakar ekonomi sekarang ini, karena perbankan syariah
merupakan solusi didalam runyamnya krisis ekonomi global yang sedang melanda
Negara-negara eropa. Ekonomi syariah tidak bisa di pengaruhi oleh krisis
tersebut, sebaliknya ia dapat stabil dan maju. Salah satu factor yang membuat
ekonomi Syariah tidak terpengaruh dengan krisis tersebut antara lain adalah
karena ekonomi syariah yang dalam hal ini perbankan syari’ah tidak menggunakan
system bunga.
Lembaga keuangan syariah yang
ada di Indonesia maupun di beberapa negara muslim sudah cukup banyak
berkembang. Di Indonesia sendiri kita dapat melihat UU No.7 Tahun 1990 tentang
perbankan, yang antara lain menyebutkan bahwa dimungkinkannya berdiri suatu
bank dengan sistem bagi hasil, sehingga regulasi tersebut menjadi dasar
berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai bank pertama di indonesia yang
mererapkan sistem syariah. Kemudian, UU tersebut diamandemen dengan UU No.10
Tahun 1988 tentang Perbankan, yang berpeluang diterapkannya dual banking
system dalam perbankan nasional ini. Sehingga UU tersebut telah mendorong
dibukanya divisi syariah di sejumlah bank konvensional.
Lembaga-lembaga keuangan dengan berbasis syariah
ternyata tidak hanya berkembang di negara yang masyarakatnya mayoritas muslim.
Telah banyak berdiri beberapa bank syariah di negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat. Kita dapat melihat Citibank yang telah mendirikan Citi Islamic Investment Bank. Begitu pula ABN
Amro Bank dengan ABN Amro Global Islamic Financial Services dan Investment Bank ANZ
Australia dengan First ANZ International Moderaba. Selain itu, Standart
Chartered Bank dan Chase Manhattan Bank adalah contoh lembaga keuangan raksasa
Internasional yang telah mulai menggarap perbankan syariah.
Mereka bukan hanya membidik nasabah muslim melainkan
juga nonmuslim. Karena mereka telah mengetahui bahwa dengan menerapkan sistem
syariah ini akan membawa masyarakat secara umum kepada kehidupan yang lebih
baik dan memberikan profit yang lebih baik pula dalam jangka panjang kepada
bank ataupun lembaga keuangan yang menerapkan sistem syariah pada kegiatannya.
Dengan perkembangan ekonomi syariah, kini telah banyak
berdiri lembaga keuangan internasional yang berbasis syariah. Lembaga-lembaga
ini pada awalnya hanya didirikan oleh negara-negara yang masyarakatnya
mayoritas beragama Islam. Namun,
setelah melihat perkembangan yang cukup baik dari lembaga-lembaga keuangan
berbasis syariah itu dan pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian dunia,
maka negara-negara besar yang berideologi kapitalis ataupun sosialis tertarik
dengan sistem syariah ini. Sehingga berdirilah lembaga-lembaga keuangan
berbasis syariah di negara-negara yang berideologi kapitalis atau sosialis dan
mendorong berdirinya lembaga keuangan syariah multilateral yang tidak hanya
didirikan oleh kelompok negara-negara muslim saja.
2.3.1. LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BERBASIS SYARIAH
Lembaga
keuangan dengan basis syariah ini berawal dari sebuah deklarasi dalam
Konferensi Menteri Keuangan Negara Muslim di Jedah pada bulan Zulkaidah 1393 H
(Desember 1973). Kemudian hal tersebut ditindaklanjuti pada sidang Gubernur
Bank Sentral pada bulan Rajab 1395 H (Juli 1975) dan lembaga itu sendiri resmi
lahir pada 15 Syawal 1395 H (20 Oktober 1975). Lembaga ini pada dasarnya
bertujuan untuk menjadi suatu lembaga yang membantu pengembangan ekonomi dan sosial
negara-negara muslim dan melakukan kerjasama dengan menggunakan prinsip
syariah.
Lembaga ini
berkantor pusat di Jedah, negara Kerjaan Saudi Arabia. Dua kantor regional
didirikan di Rabat, Maroko, dan di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam kegiatan sehari-hari,
IDB dipimpin oleh seoarng Direktur Eksekutif. Salah satu orang yang pernah
menduduki jabatan tersebut adalah Karnean Perwataatmadja yang berasal dari
Indonesia. Fungsi dari
lembaga ini antara lain memberikan bantuan modal dan kredit hibah untuk
proyek-proyek produktif dan memberikan assisten finansial bagi
perusahaan-perusahaan di negara muslim anggota IDB untuk pengembangan ekonomi dan sosial
negara tersebut.
Lembaga ini
juga mengalokasikan dana khusus untuk dana asistensi bagi pengembangan ekonomi dan sosial
bagi komunitas Islam di negara
yang bukan anggota IDB.
Saat ini
anggota IDB berjumlah 54 negara. Negara-negara anggota menyisihkan sejumlah
dana untuk IDB yang nantinya dana tersebut akan digunakan untuk program-program
pengembangan ekonomi dan sosial
di negara muslim tersebut. Pada anggota juga otomatis akan menjadi anggota
Organisasi Konferenasi Islam (OKI) dan
dalam kondisi tertentu akan menjadi anggota Dewan Gubernur IDB.
Hingga akhir
tahun 1412 H (Juni 1992), dana IDB sebesar 2 Miliar Islamic Dinars.
Namun, sejak Muharram 1413 H, atas kesepakatan Dewan Gubernur IDB, dana atau
modal IDB itu diperbesar menjadi 6 Miliar Islamic Dinars,
yang terdiri dari 600 ribu saham dengan nilai pari per lembar saham 10 ribu
Islamic Dinars. Nilai Islamic Dinars
sama dengan SDR (Special Drawing Right) yang digunakan IMF.
Di sela-sela
sidang tahunan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April 2002, telah
disepakati akan dibentuk satu institusi keuangan islam internasional.
Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pada tanggal 4 November 2002,
delapan Gubernur Bank Sentral dari delapan negara Islam, ditambah
dengan Presiden IDB, telah menandatangani pendirian Islamic Financial
Services Board (IFSB) di Kuala Lumpur, Malaysia. Lembaga itu langsung dipimpin
oleh seorang bankir senior yang berasal dari Sudan, Prof. Rifaat Ahmed Abdel
Kari, Ph.D.
Lembaga
multilateral yang akan memayungi lembaga keuangan syariah di dunia itu,
didirikan oleh Bank Sentral dan otoritas moneter dari Indonesia, Bahrain, Iran,
Kuwait, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Sudan, dan Islamic
Development Bank (IDB).
Kelahiran
IFSB bukan gagasan liar yang muncul secara spontan dalam sidang tahunan IMF
tersebut. Tapi, gagasan ini sudah dirintis sejak lama dan embrionya tumbuh pada
Consultative Meeting for Islamic Financial
Products, di Praha, Ceko, 23 September 2000. Dari situlah komitmen negara-negara
pendiri semakin kuat hingga dibentuk Technical Committee untuk
mewujudkan lembaga tersebut. Setelah melalui sejumlah pertemuan penting,
akhirnya terwujud juga pada tahun 2002.
Bagi dunia
perbankan dan lembaga keuangan syariah dunia, kehadiran IFSB ini memiliki arti
sangat penting. Karena kini terdapat sekitar 200 lembaga perbankan Islam yang sedang
tumbuh di 48 negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Barat. Bank-bank
tersebut mengelola aset sekitar $ 170 miliar.
IFSB akan
menyusun standar dan prinsip pokok pengawasan, pengaturan, dan penerapan
syariah Islam oleh lembaga
keuangan syariah di seluruh Indonesia. IFSB juga akan menjadi penguhubung
sekaligus menjalin kerjasama dengan lembaga penetapan standar di bidang moneter
dan stabilitas ekonomi. Di antara
hal yang akan dilakukan, yang cukup penting adalah penyusunan standar
operasional yang selaras dengan Basel Accord II. Basel Accord II sendiri masih
dalam tahap persiapan akhir bagi pengimplementasian pada akhir tahun 2006, yang
dikendalikan secara eksklusif oleh Bank for International Settlements (BIS) di
Basel, Swiss. Intinya, fungsi IFSB seperti Bank for International Settlement
(BIS).
Bagi
Indonesia, keberadaan IFSB sangat strategis. Ini untuk menstandarisasi
perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah di negeri ini sehingga standar
operasi dan produknya sama secara internasional. Selain itu, melalui lembaga
tersebut akan dapat dijalin kerja sama antar lembaga keuangan syariah di dunia.
International
Institute of Islamic Thought
(IIIT) adalah sebuah lembaga nonprofit, lembaga pendidikan dan budaya, yang
fokus terhadap gagasan-gagasan ke-Islaman secara
umum. Lembaga ini berdiri di Amerika Serikat pada 1981 atau 1401 H. Lembaga
yang memiliki berbagai cabang di dunia ini, berkantor pusat di Herndon,
Virginia.Lembaga ini memiliki visi mengembangkan umat melalui pendidikan,
budaya, dan mengintegrasikan, pengetahuan Islam dengan
kemanusiaan dan etika Islam dengan moral
pengetahuan.
Seiring
dengan pengembangan ekonomi syariah, IIIT juga turut berperan mengembangkan
konsep, mensosialisasikan, dan menstandarisasikan ekonomi syariah.
Salah satu program standarisasi ekonomi syariah adalah, The Registered Fellow in Islamic Finance
(RFIF) yang merupakan sertifikasi keahlian keuangan syariah yang berskala
internasional. Untuk menstandarisasi keahlian ini di Indonesia bekerja sama
dengan Karim Business Consulting.
Lembaga ini
merupakan lembaga yang menstandarisasi sistem akunting dan audit keuangan
lembaga-lembaga ekonomi syariah, khususnya lembaga keuangan di dunia. Lembaga
ini berkantor pusat di London, Inggris, dan diakui oleh negara-negara yang
memiliki lembaga keuangan syariah sebagai benchmark akuntansi dan audit
keuangan syariah.Lembaga ini didirikan oleh Bank Dunia bekerja sama dengan
Bahrain Monetery Agency. AAOIFI memiliki misi untuk menciptakan sistem keuangan
syariah yang transparan, berkesinambungan, dan bersih.
Sejumlah
standar akuntansi dan audit yang diterbitkan AAOIFI menjadi dasar bagi
lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Standar Akuntansi Perbankan
Syariah yang baru-baru ini disahkan Dewan Syariah Nasional merupakan peraturan
akuntansi perbankan yang merujuk pada standar AAOIFI.
2.3.2.
LEMBAGA-LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
1.
Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan
Usnit Usaha Bank Konvensional
BUS adalah
bank syariah yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sementara itu, BPRS adalah benk syariah yang melaksanakan kegiatan usahanya
tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Berdasarkan UU Perbankan Syariah
No. 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank konvensional yang hendak melaksanakan
usaha syariah harus membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) yang khusus beroperasi
dengan menggunakan sistem syariah.
2.
Baitulmal wat Tamwil
Atau disebut juga dengan “Koperasi Syariah”, merupakan lembaga keuangan syariah yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana kepada anggotanya dan biasanya beroperasi dalam skala mikro.
Atau disebut juga dengan “Koperasi Syariah”, merupakan lembaga keuangan syariah yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana kepada anggotanya dan biasanya beroperasi dalam skala mikro.
3.
Asuransi Syariah
Asuransi syariah memiliki kaitan erat dengan bank syariah. Berbagai pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah umumnya diasuransika dengan menggunakan skema syariah. Praktik asuransi ini dilakukan oleh bank syariah untuk mengantisipasi kegagalan bayar pembiayaan nasabah karena faktor meninggalnya nasabah maupun faktor lainnya yang disepakati dalam asuransi.
Asuransi syariah memiliki kaitan erat dengan bank syariah. Berbagai pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah umumnya diasuransika dengan menggunakan skema syariah. Praktik asuransi ini dilakukan oleh bank syariah untuk mengantisipasi kegagalan bayar pembiayaan nasabah karena faktor meninggalnya nasabah maupun faktor lainnya yang disepakati dalam asuransi.
4.
Pasar Modal Syariahreksa Dana Syariah
Merupakan tempat perusahaan menerbitkan surat berharga, baik berupa saham maupun obligasi, agar memperoleh dana dari investor. Sejauh ini, untuk menyalurkan kelebihan likuiditasnya dipasar modal, bank syariah diizinkan sebatas pada pembelian obligasi syariah atau biasa disebut dengan Sukuk.
Merupakan tempat perusahaan menerbitkan surat berharga, baik berupa saham maupun obligasi, agar memperoleh dana dari investor. Sejauh ini, untuk menyalurkan kelebihan likuiditasnya dipasar modal, bank syariah diizinkan sebatas pada pembelian obligasi syariah atau biasa disebut dengan Sukuk.
5.
Reksa Dana Syariah
Merupakan perusahaan sekuritas yang khusus memfasilitasi investor untuk menginvestasikan dananya pada surat berharga yang memenuhi kriteria syariah. Kerja sama dengan reksa dana syariah juga dijalin oleh bank syariah ketika hendak mengeluarkan saham atau obligasi di pasar modal guna mendapatkan dana dari masyarakat.
Merupakan perusahaan sekuritas yang khusus memfasilitasi investor untuk menginvestasikan dananya pada surat berharga yang memenuhi kriteria syariah. Kerja sama dengan reksa dana syariah juga dijalin oleh bank syariah ketika hendak mengeluarkan saham atau obligasi di pasar modal guna mendapatkan dana dari masyarakat.
6.
Ar-Rahnu
Atau “Pegadaian Syariah” merupakan lembaga pegadaian yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.
Atau “Pegadaian Syariah” merupakan lembaga pegadaian yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.
7.
Lembaga Amil Zakatdan Badan Amil Zakat
Merupakan lembaga amil zakat yang diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia. LAZ didirikan oleh masyarakat, sedangkan BAZ didirikan oleh pemerintah. Berdasarkan UU Perbankan Syariah, bank syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) ataupun dana sosial lainnya untuk disalurkan kepada pengelola zakat.
Merupakan lembaga amil zakat yang diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia. LAZ didirikan oleh masyarakat, sedangkan BAZ didirikan oleh pemerintah. Berdasarkan UU Perbankan Syariah, bank syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) ataupun dana sosial lainnya untuk disalurkan kepada pengelola zakat.
2.3.3.
INSTITUSI
PENDUKUNG PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
1.
Bank Indonesia
Bank
Indonesia merupaka regulator bagi perkembangan seluruh bank umum dan BPR di
Indonesia, termasuk BUS dan BPR syariah. Sebagai regulator, BI telah
mengupayakan adanya payung hukum bagi berkembangnya bank syariah di Indonesia,
yaitu dengan memasukkannya istilah prinsip syariah dalam undang-undang No. 10
tahun 1998 tentang perbankan.
Secara
khusus, BI membuat Cetak Biru Perbankan Syariah yang dijadikan acuan
pengembangan bank syariah dari tahun 2003 hingga 2011. Pada pertengahan tahun
2008, pengaturan Bank Syariah dimuat dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU
No. 21 Th 2008 tentang Perbankan Syariah
2.
Dewan Syariah Nasional-MUI dan Dewan Pengawas Syariah
Dewan
Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari MUI yang memuat fatwa terkait
produk keuangan syariah. DSN memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut:
ü Memberikan
atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada
suatu lembaga keuangan syariah.
ü Mengeluarkan
fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
ü Mengeluarkan
fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
ü Mengawasi
penerapan fatwanyang telah diterapkan
Adapun DPS adalah badan terafiliasi
yang ditempatkan oleh DSN dalam setiap lembaga keuangan syariah. DPS dalam
menjalankan tugasnya wajib mengikuti fatwa DSN. Tugas dan wewenang DPS, adalah:
ü Melakukan
pengawasan secara periodik terhadap lembaga keuangan syariah yang berada
dibawah pengawasannya.
ü Mengajukan
usulan pengembangan lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN.
ü Merumuskan
permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
ü Komite
Akuntansi Syariah-Ikatan Akuntan Indonesia (KAS-IAI)
KAS
merupakan komite yang dibentuk IAI untuk merumuskan standar akuntansi syariah,
yang dibentuk sejak Oktober 2005. KAS sampai akhir tahun 2006 telah
menghasilkan konsep Bangun Prinsip Keuangan Syariah, serta 6 exposure draf PSAK
Syariah. Draf yang telah dihasilkan KAS-IAI selanjutnya disahkan oleh DSAK pada
tahun 2007.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Bank syariah
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi
disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan
selalu berkaitan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya.
Manfaat dari
pendirian Bank Syariah adalah sebagai pelengkap keberadaan Bank Konvensional,
bank syariah digunakan sebagai alternatif transaksi perbankan konvensional,
yang kedua adalah sebagai pengakomodasi kelompok masyrakat yang antipasti
terhadap dunia perbankan konvensional, dan yang terakhir sebagai salah satu
upaya peningkatan mobilisasi dana masyarakat.
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Prinsip dasar operasional bank Islam/ syariah tidak
mengenal adanya konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingya adalah untuk
tujuan komersial, Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/
kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang
peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan social tanpa adanya imbalan
apapun.
Prinsip utama operasional bank berdasarkan Prinsip
Syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Kegiatn
operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan kedua sumber
tersebut. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat
diklasifikasikan sebagai riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan
prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem
pemberian imbalan atau jasa atas dana.
Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan
Prinsip Syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan
atas dana yang digunakan atau ditipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan
terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan
pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Perlu diakui bahwa ada
sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa sistem bunga yang ditetapkan oleh
bank konvensional merupakan pelanggaran terhadap prinsip syariah.
Lembaga keuangan merupakan
semua lembaga yang bergerak dibidang keuangan, menarik uang dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kedalam masyarakat, ada dua lembaga
keuangan, yaitu diantaranya ada lembaga keuangan bukan bang dan lembaga
keuangan khusus. Lembaga keuangan bukan bank yaitu lembaga atau badan yang
melakukan kegiatan dibidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung
menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya
kedalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Sedangkan
lembaga keuangan khusus yaitu suatu lembaga atau adan usaha yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dengan mengeluarkan
surat-surat berharga yang dilakukan oleh perbankan.
3.2.
Saran
Bank syariah harus memiliki sumber dana optimal
sebelum disalurkan kembali ke masyarakat. Disamping itu, sebagai bang syariah
yang di tuntut untuk mempraktikan kaidah Islam, maka perlu dipahami terlebih
dahulu dana masyarakat dan transaksi-transaksinya yang tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
Umat Islam
diharapkan dapat memahami perkembangan bank syariah dan mengembangkannya
apabila dalam posisi sebagai pengelola bank syariah yang perlu secara cermat
mengenali dan mengidentifikasi semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang
potensial untuk pengembangan bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Santoso, A. Totok,dkk. (2000). Bank & Lembaga Keuangan Lain.
Jakarta: Salemba Empat.
Syariah, Direktorat Perbankan. 2012. Outlook Perbankan Syariah
2012, Jakarta: Bank Indonesia
Sulhan,
Muhammad dkk. 2008. Manajemen Bank. (Malang :UIN Malang Press)
Sudarsono,
Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta : Ekonisia)
Syafi’I,
Muhammad Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.(Jakarta
: Gema Insani)
Syafi’I Antonio
dalam “Pembiayaan Bank Syariah” http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/pembiayaan-bank-syariah/ diakses
pada 28 april 2012
Zainul
Arifin dalam “Sistem Operasional Bank Syariah” http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/prinsip-prinsip-operasional-bank-islam/ diakses
pada 28 April 2012
http://www.syariahmandiri.co.id/category/corporate-banking/pembiayaan-corporate-banking/ diakses
pada 29 April 2012
Suwiknyo, Dwi. Analisis laporan
Keuangan Perbankan Syariah. Yoyakarta: Pustaka Pelajar,2010.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Alvabet: Jakarta
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Alvabet: Jakarta
Bank Indonesia. 2007.
Statistik Perbankan Syariah dalam. www.bi.go.id
Hakim, Cecep Maskanul. 2008.
Problem Pengembangan Produk Dalam Bank Syariah.
Available at www.vibiznews.com.
bagi anda yang ingin mengajukan pembiayaan mobil bekas atau pinjaman dana dengan jaminan bpkb mobil, silahkan hubungi marketing officer kami berikut ini
BalasHapusContact : Sukma Dinata
Telp/Whatsapp/Line: 081280295839
smm panel
BalasHapusSmm Panel
İS İLANLARİ BLOG
instagram takipçi satın al
hirdavatciburada.com
WWW.BEYAZESYATEKNİKSERVİSİ.COM.TR
SERVİS
TİKTOK HİLE İNDİR