Senin, 08 April 2013

Prinsip Dasar dan Sistem Operasional serta Perkembangan Lembaga keuangan Bank Syariah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Bank Syariah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonomi dan praktisi perbankan muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuagnan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah Islam.
Umat Islam diharapkan dapat memahami perkembangan bank syariah dan mengembangkannya apabila dalam posisi sebagai pengelola bank syariah yang perlu secara cermat mengenali dan mengidentifikasi semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang potensial untuk pengembangan bank syariah.
Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya.

1.1.1.      Perkembangan bank-bank syariah di berbagai Negara
1.      Pakistan
Pakistan merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal juli 1979, sistim bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi, yaitu: National Investment (unit trust), House Building Finance (pembiayaan sektor perumahan) dan mutual fund of the investment corporation of Pakistan (kerjasama investasi). Pada tahun 1979-80, pemerintah mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan nelayan.
Pada tahun 1981, seiring diberlakukannya undang-undang perusahaan mudharabah dan murabahah , mulailah beroperasi 7000 cabang bank komersial nasional diseluruh Pakistan dengan mengunakan sistim bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistim perbankan pakistan dikonversi dengan sistim yang baru, yaitu sistim perbankan syariah.




2.      Mesir
Bank syariah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank. Bank ini mulai beroperasi pada bulan Maret 1978, dan berhasil membukukan hasil mengesankan dengan total asset sekitar 2 milyar dolar AS pada 1986 dan tingkat keuntungan sekitar 106 juta dolar AS. Selain Faisal Islamic Bank for Investment dan Development yang beroperasi dengan mengunakan instrument keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik sebagai bank investasi (investment Bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank komersial (commercial bank).
3.      Siprus
Faisal Islamic Bank of Kibris (siprus) mulai beroperasi pada maret 1983 dan mendirikan Faisal Islamic Investment Corporation yang memiliki 2 cabang di Siprus dan 1 cabang di Istanbul. Dalam sepuluh bulan awal beroperasinya, bank tersebut telah melakukan pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar TL 450 juta (TL atau Turkey Lira, mata uang Turki).
Bank ini juga melakukan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah, dengan tingkat keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran bank Islam di Siprus telah mengerakan masyarakat untuk menabung, bank ini beroperasi dengan mendatangi desa-desa, pabrik dan sekolah dengan mengunakan kantor kas (mobil) keliling untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain kegiatan-kegiatan diatas, mereka juga mengelola dana-dana lainnya seperti al qardhul hasan dan zakat.
4.      Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan sistim tanpa bunga. Institusi ini memiliki 8 cabang di Kuwait, dan telah menunjukkan perkembangan yang cepat. Selama 2 tahun saja, yaitu 1980 – 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474 juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta.
5.      Bahrain
Massaf Faisal al Islami Bahrain mulai beroperasi pada Desember 1982. Akhir 1985, total asset telah mencapai 677 juta dolar AS dengan keuntungan sebesar 2,6 juta dolar.
6.      Uni Emirat Arab
Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor bank syariah. Didirikan pada tahun 1975 investasinya meliputi bidang perumahan. Proyek-proyek industri, dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional.
7.      Malaysia
Lembaga keuangan syariah di Malaysia telah muncul sejak 1969 dan telah berevolusi sebagai komponen yang viable dan kompetitif dari sistim keuangan secara keseluruhan. Strategi yang diambil, dengan dukungan penuh dari pemerintah, adalah mengembangkan sistim keuangan Islam yang menyeluruh yang beroperasi berdampingan dengan sistim konvensional, terutama infrastruktur perbankan syariah, assuransi syariah, dan pasar keuangan (pasar modal dan pasar uang) syariah. Intradependency dari komponen struktural ini menciptakan enabling environment bagi sistim keuangan untuk beroperasi secara efisien.
Kesimpulannya, dalam mengembangkan sistim keuangan syariah, pemerintah Malaysia menempuh “pragmatic and gradual approach”, mengembangkan sistim yang menyeluruh, dan memberikan komitment yang kuat untuk memastikan keberhasilannya. Sistim keuangan Islam harus didukung oleh “enabling” infrastruktur keuangan Islam dalam bentuk pengembangan institusional, kerangka regulasi, dan kerangka legal dan syariah.
8.      Iran
Perkembangan bank syariah di Iran di mulai sejak Januari 1984 berdasarkan ketentuan /undang-undang yang disetujui pemerintah pada bulan agustus 1983. sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 milyar rial yang diadministrasikan sesuai dengan sistim syariah. Hingga bulan oktober 1983, sebanyak 20.000 karyawan bank di Iran telah mengikuti pelatihan sistim perbankan syariah.
9.      Turki
Baru pada tahun 1984, pemerintah Turki memberikan izin kepada Daar al Maal al Islami (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan bagi hasil. Hal ini karena menurut ketentuan Bank sentral Turki, bank syariah diatur dalam satu yurisdiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan desember 1984 didirikan pula Faisal Finance Institution dan mulai beroperasi pada bulan april 1985.

1.1.2.      Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Bank syariah di Indonesia belum lama berkembang jika dibandingkan dengan bank syariah di negara-negara Timur Tengah seperti Pakistan dan Mesir, yang telah berkembang dan maju dengan demikian pesat. Secara kuantitatif, perkembangan bank syariah belum dapat dikatakan menggembirakan, namun secara kualitatif khususnya ketika Indonesia mengalami krisis moneter yang terjadi mulai pertengahan tahun 1997 hingga sekarang, bank syariah terbukti telah menunjukkan ketangguhannya. PT. Bank Muamalat Indonesia yang merupakan bank syariah pertama di Indonesia ternyata tetap dalam posisi sehat dimana banyak bank-bank umum konvensional saat itu mengalami kesulitan. Sebanyak 16 bank konvensional pada awal tahun 1998 terpaksa harus ditutup menyusul kemudian sebanyak 55 bank termasuk kategori bemasalah.
Ketangguhan bank syariah juga dapat diamati pada 77 Bank Perkreditan Rakyat syariah yang lebih dari 30 persen dalam keadaan sehat sementara hampir semua Bank Perkreditan Rakyat konvensional kemungkinan termasuk kategori bank bermasalah.
Pada triwulan I 2008 jumlah bank syariah di Indonesia mencapai 31 Bank, terdiri dari tiga institusi Bank Umum Syariah (BUS), yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah serta 28 Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai cabang bank umum konvensional seperti Bank BNI, Bank IFI, dan BRI.
Perkembangan bank syariah di Indonesia mengikuti tiga tahapan, yaitu tahapan perkenalan (introduction), tahap pengakuan (recognition), dan tahap pemurnian (purification).
1. Tahap perkenalan (introduction)
Tahap perkenalan terjadi pada tahun 1991 sampai tahun 1997. Pada tahap ini, masih terdapat perdebatan di masyarakat mengenai nama dari produk-produk perbankan syariah apakah harus menggunakan bahasa aslinya, seperti al-mudharabah, al-musyarakah, al-murabaha, al-bai’u bithaman ajil, as-Salam, al-Istishna, al Ijarah, ar-Rahn, al-Kafalah, dan lain-lain, atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Para penggagas perbankan syariah saat itu bersepakat untuk tetap mempertahankan nama-nama produk bank syariah sesuai bahasa aslinya karena makna dalam bahasa aslinya lebih dalam sehingga apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi panjang dan menghilangkan makna dalamnya.
Antara tahun 1997 hingga tahun 1999 merupakan pembuktian akan ketangguhan konsep system perbankan syariah dimana pada saat itu Indonesia mengalami krisis multi dimensional. Ketika itu sector perbankan dihantam malapetaka yang amat parah, namun ternyata perbankan syariah yang baru “seumur jagung” tersebut mampu bertahan dalam posisi sehat. Fenomena tersebut membuat banyak pakar ekonomi kemudian menoleh kepada perbankan syariah sebagai suatu system perbankan yang patut untuk dipelajari dan dikembangkan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ternyata kepentingan umat Islam akan adanya lembaga keuangan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas belum cukup terakomodir. Terdapat beberapa kelemahan pada tersebut. Selama enam tahun beroperasi, selain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung system perbankan syariah. Keadaan ini memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (notabene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia.
Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional (shariahlife.wordpress.com). Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberi amanat kepada Bank Indonesia agar mengembangkan dan membina perbankan syariah.

2. Tahap pengakuan (recognition)
Tahap pengakuan akan keunggulan bank syariah ini ditandai dengan dibentuknya Biro Perbankan Syariah pada tahun 2001 oleh Tim Pengembangan Perbankan Syariah dalam rangka pengembangan dan pembinaan perbankan syariah di Indonesia. Karena beban kerja semakin meningkat dan tugas yang semakin kompleks, biro ini ditingkatkan menjadi Direktorat Perbankan Syariah pada tahun 2003.
Menurut Ascarya (2007:203), “selain menganut strategi market driven dan fair treatment, pengembangan perbankan syariah di Indonesia dilakukan dengan strategi pengembangan bertahap yang berkesinambungan (gradual and sustainable approach) yang sesuai dengan prinsip Syariah (comply to Sharia principles)”.
Tahapan-tahapan implementasi dan prioritas inisiatif-inisiatif yang perlu dilaksanakan tertuang dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada bulan September 2003. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1) Tahap I (2002-2004), yaitu meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan industri.
2) Tahap II (2005-2009), yaitu memperkuat struktur industri perbankan syariah.
3) Tahap III (2010-2012), yaitu memenuhi standar keuangan dan mutu pelayanan internasional.
4) Tahap IV (2013-2015), yaitu terbentuknya integrasi lembaga keuangan syariah.
Sedangkan prioritas yang harus dilakukan pada setiap tahapan adalah mengarahkan kepatuhan kepada prinsip Syariah, ketentuan kehati-hatian, efisiensi operasi dan daya saing, kestabilan system dan kemanfaatan bagi perekonomian.

3. Tahapan pemurnian (purification)
Tahap ini dimulai sejak tahun 2002, sejalan dengan prioritas pertama dari inisiatif yang harus dilakukan agar perbankan syariah selalu mematuhi prinsip Syariah. Tahap pemurnian ini mengarah kepada praktik perbankan yang kaaffah (sempurna), yang merupakan tahap terpenting, tersulit, dan mungkin yang terpanjang. Karena, selama masyarakat masih belum merasakan kenyamanan yang berbeda dalam berbagai aspeknya dengan praktik perbankan konvensional, maka usaha pemurnian menujup perbankan syariah yang kaaffah belum selesai dan harus terus dilanjutkan.
Pada tanggal 17 Juni 2008, DPR-RI telah mengesahkan Undang-Undang Perbankan Syariah. Dengan diberlakukannya undang-undang yang memiliki pasal khusus tentang pengaturan sistem perbankan syariah tersebut, maka akan semakin besar peluang usaha bagi perbankan syariah untuk berkembang di Indonesia. Undang-Undang baru ini diharapkan dapat meningkatkan akselerasi pertumbuhan perbankan syariah menjadi lebih signifikan.
Selain itu, unit usaha syariah (UUS) yang ada dapat didorong untuk menjadi bank syariah yang mandiri. Isi dari Undang-Undang Perbankan Syariah tersebut yang dapat membuka lebar peluang bagi berkembangnya perbankan syariah adalah :
1.      Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7).
2.      Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2).
3.      Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. (Pasal 68 ayat 1).
4.      Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b).
5.      Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1).
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa banyak faktor yang dapat mendorong pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang.
Lebih jauh lagi kami akan membahas Bank Syariah untuk lebih mengetahui apa saja Prinsip dasar Bank Syariah, Sistem Operasional Bank Syariah, dan Perkembangan Lembaga keuangan Bank syariah.

1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang di atas , maka ada beberapa permasalahan yang dapat di sajikan yaitu :
1.      Bagaimana Prinsip Dasar Bank Syariah?
2.      Bagaimana Sistem Operasional Bank Syariah?
3.      Bagaimana Perkembangan Lembaga keuangan Bank Syariah?





BAB II
PEMBAHASAN
2.1.         Prinsip Dasar Bank Syariah.
Pengertian Bank Syariah, Menurut Undang-undang No.10 tahun 1998 bank syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Prinsip syariah menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain
  • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
  • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
  • Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
  • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
  • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.
Prinsip dasar operasional bank Islam/ syariah tidak mengenal adanya konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingya adalah untuk tujuan komersial, Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/ kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan social tanpa adanya imbalan apapun.
Perkembangan bank-bank syariah di dunia dan di Indonesia mengalami kendala karena bank syariah hadir di tengah-tengah perkembangan dan praktik-praktik perbankan konvensional yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat secara luas. Kendala yang dihadapi oleh perbankan (lembaga keuangan) syariah tidak terlepas dari sebelum tersedianya sumber daya manusia secara memadai dan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat bahwa di masing-masing Negara, terutama yang masyarakatnya mayoritas muslim, tidak mempunyai infrastruktur pendukung dalam operasional perbankan syariah secara merata. Konsekuensi perkembangan di masing-masing Negara tersebut tentunya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan perbankan syariah di dunia. Apalagi pada saat ini produk-produk keuangan semakin cepat perkembangannya.
Pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia juga belum seiring dengan pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang sistem operasional perbankan syariah. Meski bank syariah terus berkembang setiap tahunnya, banyak masyarakat Indonesia yang masih belum mengenal apa dan bagaimana bank syariah menjalankan kegiatan bisnisnya.
Pendapat mereka produk-produk yang ditawarkan oleh bank syariah hanyalah produk-produk bank konvensional yang dipoles dengan penerapan akad-akad yang berkaitan dengan syariah. Sehingga hal ini justru memunculkan anggapan negative masyaraka bahwa kata syariah hanya sekedar lipstick dalam perbankan syariah.
Masih terdapat kebingungan pada karakteristik dasar yang melandasi sistem operasional perbankan syariah, yakni sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dalam prakteknya dipandang masin menyerupai sistem bunga bagi bank konvensional. Penyaluran dana bank syariah leibh banyak bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan berdasarkan margin, yang masih dianggap oleh masyarkat hanyalah sekedar polesan dari cara pengambilan bunga pada bank konvensional.
Mereka masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil, margin dan bunga bank konvensional. Kalupun bias hanyalah pada tataran teorinya saja, sedangkan prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga.
Secara garis besar hubungan ekonomi berdasarkan Syariah Islam tersebut ditentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari tujuh (5) dasar akad. Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan produk-produk lembaga keuangan Bank Syariah dan lembaga keuangan bukan Bank Syariah untuk dioperasionalkan.
Kelima konsep tersebut adalah:
1.      Prinsip Mudharabah
Merupakan Perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana (sahibul maal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib) untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh, sedangkan kerugian yang timbul adalah risiko pemilik dana kecuali mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabah dibedakan menjadi : 
o    Mudharabah mutlaqah, dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki,
o    Mudharabah muqayyaddah, dimana arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana/pengelola.
2.      Prinsip Musyarakah
Merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk lebih suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Jenis dari akad musyarakah ini ada dua :
·         musyarakah pemilikan dan
·         musyarakah kontrak.  

3.      Prinsip Wadi’ah(Simpanan Murni)
AL-WADI’AH merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Syariah untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang mempunyai dana lebih untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al-Wadi’ah. Fasillitas ini biasanya diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional konsep Al-Wadi’ah identik dengan Giro.
Adapun beberapa istiah yaitu :
Ø  Penerima sim­panan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si pe­nyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan keru­sakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kela­laian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
Ø  Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang ter­sebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung).
Ø  Konsekuensi dari diterapkannya prinsip yad adh-dhamanah pihak bank akan menerima seluruh keuntungan dari penggunaan uang, namun sebaliknya bila mengalami kerugian juga harus ditanggung oleh bank.
Ø  Sebagai imbalan kepada pemilik dana disamping jaminan keamanan uangnya juga akan memperoleh fasilitas lainnya seperti insentif atau bonus untuk giro wadiah. Artinya bank tidak di­larang untuk memberikan jasa atas pemakaian uangnya berupa in­sentif atau bonus, dengan catatan tanpa perjanjian terlebih dulu baik nominal maupun persentase dan ini murni merupakan kebijakan bank sebagai pengguna uang. Pemberian jasa berupa insentif atau bonus biasanya digunakan istilah nisbah atau bagi hasil antara bank dengan nasabah. Bonus biasanya diberikan kepada nasabah yang memiliki dana rata-rata minimal yang telah ditetapkan.
Ø  Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
Adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan.Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah dibedakan menjadi : 
o     Wadi’ah yad dhamanah, yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, contoh Giro, Tabungan, Deposito.
o     Wadi’ah Amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan, contoh Safe Deposite Box (SDB).
4.      Prinsip At-Tijarah (Jual Beli)
AT-TIJARAH merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli dimana bank akan memberi terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah beli ditambah keuntungan (margin).Prinsip At-Tijarah terdiri dari :
1.         Bai’al Murabahah
Akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual. Nasabah membayar harga barang pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
2.         Bai’ as-Salam
Pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian
3.         Bai’ al-Ishtisna
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepaati dan menjualnya kepada pembeli akhir.


                        Prinsip Al- Ajr Wal Umullah (Jasa-Jasa) :
AL- AJR WAL UMULLAH meliputi seluruh layanan no-pembiyaan yang diberikan Bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, kliring, inkaso, jasa transfer. Secara Syariah Prinsip ini didasarkan pada konsep Al Ajr Wal Umullah.Prinsip Al- Ajr Wal Umullah terdiri dari :
1.         Ijarah
Akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebut Ijarah mumtahiyah bit tamlik (IMBT).
2.         Wakalah
Pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3.         Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil), dan penanggung dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
4.         Sharf
Transaksi jual beli mata uang, baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dengan penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran
5.         Prinsip Kebajikan
Yaitu penerimaan dan penyaluran dana kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah (ZIS) dan lainnya, serta penyaluran qardul hasan yaitu penyaluran dalam bentuk pinjaman untuk tujuan menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali pengembalian pokok hutang.
2.2.         Sistem Operasional Bank Syariah.
Prinsip utama operasional bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Kegiatn operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan kedua sumber tersebut. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau jasa atas dana.
Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan atas dana yang digunakan atau ditipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Perlu diakui bahwa ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa sistem bunga yang ditetapkan oleh bank konvensional merupakan pelanggaran terhadap prinsip syariah.
Dalam hukum Islam, bunga adalah riba dan diharamkan. Ditinjau dari sisi pelayanan terhadap masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar prinsip Syariah merupakan usaha untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar perbankan yang tidak setuju atau tidak menyukai sistem bunga.

1.                  SISTEM PENGHIMPUNAN DANA

Metode penghimpunan dana yang ada pada Bank-bank konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga Kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan, dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
Berbeda dengan hal berikut, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri atas:
a.         Sumber Dana
Sebagai salah satu lembaga yang berfungsi untuk mengimpun dana masyarakat, bank syariah harus memiliki sumber dana optimal sebelum disalurkan kembali ke masyarakat. Disamping itu, sebagai bang syariah yang di tuntut untuk mempraktikan kaidah Islam, maka perlu dipahami terlebih dahulu dana masyarakat dan transaksi-transaksinya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sumber dana yang dapat dihimpun dari masyarakat terdiri dari (3) tiga jenis dana, yaitu dana modal yaitu dana dari pendiri bank dan dari para pemegang saham tersebut , dana titipan masyarakat baik yang dikelola oleh bank dalam sistem Wadi’ah, maupun yang diinvestasikan melelui bank dalam bentuk dana investasi khusus (Mudhrabah Muqayyadah) atau investasi terbatas (Mudhrabah Muqayyadah) serta dana zakat, infak, dan sadaqah.
ü  Modal
Modal merupakan dana (dalam bentuk pembeliaan saham) yang disediakan oleh pemilik yang mempunyai hak untuk memperoleh dividen dan penggunaan modal yang disertakan tersebut. Dalam perbankan syariah, mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat dilakukan melalui musyawarah fi sahm asy-syariqah atau equity partcipation pada saham perseroan bank.
ü  Dana titipan masyarakat.
ü  Dana dari ZIS
Dana ini peruntukannya jelas satu dari ciri khas bank syariah selain mengelola dana untuk kepentingan komersial bank juga harus berfungsi sebagai pengelola dana untuk kepentingan sosial. Dalam pelaksanaannya, bank syariah dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga sosial lainnya yang bergerak di bidang pemberdayaan perekonomian masyarakat seperti Dompet Dhuafa, Forum Zakat (FOZ), dan Badan Amil Zakat (BAZ)
b.        Titipan (Al-Wadiah)
Salah satu prinsip yang digunakan bank syariah dalam penghimpunan dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah Al-Wadiah. Al-Wadiah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Secara umum terdapat dua jenis Al-Wadiah, yaitu:
1.      Wadiah Yad Al-Amanah. Jenis ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
ü  Harta atau benda yg dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
ü  Penerima titipan (bank) hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa mengambil manfaatnya.
ü  Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya (Fee) kepada yang menitipkan.
Adapun bentuk aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box.
2.      Wadiah Yad Adh-Dhomah. Wadiah jenis ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
ü  Harta atau benda yang dititipkan diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh penyimpan.
ü  Apabila ada hasil dari pemanfaatan benda titipan, maka hasil tersebut menjadi hak dari penyimpanan. Tidak ada kewajiban dari penyimpan untuk memberikan hasil tersebut kepada penitip sebagai pemilik benda
Prinsip ini di aplikasikan dalam bentuk giro dan tabungan. Namun perlu ditekankan disini bahwa bank tidak memperjanjikan hasil dari benda titipan yang di manfaatkan tersebut kepada nasabah. Pemberian hasil hanya sebagai bonus dari kebijakan bank dan tidak ditentukan atau disebutkan dalam akad.
3.      Investasi (Mudharabah)
Akad yang sesuai dengan prinsip investasi adalah mudharabbah yang mempunyai tujuan kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib), dalam hal ini adalah bank. Pemilik dana sebagai deposan dibank syariah berperan sebagai investor murni yang menanggung aspek sharing risk dan return dari bank. Dengan demikian deposan bukanlah lander atau kreditor bagi bank seperti halnya pada bank konvensional. Secara garis besar mudharabbah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
ü  Mudharabah Muthlaqah
Dalam prinsip ini hal utama yang menjadi cirinya adalah shahibul maal tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya atau dengan kata lain, mudharib di beri wewenang penuh mengelola tanpa terikat waktu, tempat, jenis, usaha, dan jenis pelayanannya. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalh tabungan dan deposito berjangka.
ü  Mudharabah Muqayyadah.
ü  Pada jenis akad ini, shahibul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan jenis usaha, tempat, dan waktu tertentu saja. Aplikasinya dalam perbankan adalah special investment based on restricted mudharabah. Model ini dirasa sanagt cocok pada saat krisis dimana sektor perbankan mengalami kerugian meyeluruh. Dengan special investmen, investor tertentu tidak perlu menanggung over head bank yang terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus dengan return dan cost yang dihitung khusu pula.

2.             SISTEM PENYALURAN DANA (Financing)
Bank syariah sebagai suatu lembaga keuangan akan terlibat dengan berbagai jenis kontrak perdagangan syariah. Semua elemen kontrak sudah pasti mempunyai asas dan prinsip yang jelas secara syariah. Penyakluran dana perbankan syariah dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu:
a.    Equity Financing
Bentuk ini terbagi pula dalam pilihan skim mudharabah muthalaqah/muqayyadah atau dalam bentuk musyarakah.

ü  Al-Mudharabah
Dari segi konsep dasar, mudharabah yang akan dijelaskan disini sama dengan mudharabah yang telah dijelaskan sebelumnya dalam penghimpunan dana bank (deposit nasabah), namun ada yang membedakannya. Al-Mudharabah pada pelaksanaan deposit nasabah, maka nasabah sebagai penyandang dana bertindak sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib (pengelola dana).
Sedangkan pada skim pembiayaan, bank bertindak sebagai shahibul maal dan pengelola usaha bertindak sebagai mudharib. Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian bank.



Dalam pelaksanaaan kontrak AL-Murabahah, bank tidak dibenarkan meletakkan kolateral (jaminan) kepada nasabah, karena ia bukan bersifat utang, ia bersifat kerja sama dengan modal kepercayaan antara bank dan nasabah. Dengan kata lain, masing-masing pihak mempunyai bagian atas hasil usaha bersama tersebut dan juga beban risikonya (full investment).
ü  Al-Musyarakah
Yang dimaksud dengan musyarakah adalah akad antara dua orang atau lebih dengan menyertakan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi yang disepakati. Musyarakah lebih dikenal dengan sebutan syarikat merupakan gabungan pemegang saham untuk membiayai suatu proyek, keuntungan dan proyek tersebut dibagi menurut presentse yang disetujui, dan seandainya proyek tersebut mengalami kerugian, maka beban kerugian tersebut ditanggung bersama oleh pemegang saham secara proporsional.
Bank syariah dalam aplikasinya hanya menggunakan instrumen syarikat Al-Man, karena jenis syarikat inilah yang lebih sesuai dengan keadaan perdagangan saat ini. produk-produk yang dikeluarkan melalui syarikat biasanya beraneka ragam, diantaranya modal ventura, dimana bank ikut memberi modal terhadap suatu perusahaan dan dalam jangka waktu tertentu akan melepas kembali saham perusahaan tersebut kepad rekan kongsi dan kemungkinan juga tetap bermitra untuk jangka panjang.
Di Indonesia, sudah ada banyak bank syariah yang melakukan produk seperti ini, dan jenis usaha yang dibiayai antara lain perdagangan, industri (manufacturing), usaha atas dasr kontrak dan lain sebagainya.dalam kontrak Al-Musyarakah, bank juga tidak boleh memberatkan nasabah dengan persyaratan agunan atau kolateral, karena kontrak ini berbentuk kerja sama dan bukan utang-piutang. Kesalahan pada pembebanan jaminan menyebabkan kontrak menjadi fasad.

b.        Debt Financing.
Debt Financing adalah dalam teori meliputi objek-objek berupa pertukaran antara barang dengan barang (barter), barang dengan uang, uang dengan barang, dan uang dengan uang. Mengenai objek pertama dan terakhir terdapat permasalahan pertukaran antara barang dengan barang dipertimbangkan dapat menimbulkan ribah fadhal.


Sedangkan pertukaran antara uang dengan uang pun demikian, di khawatirkan dapat menimbulkan ribah nasiah. Pertukaran antar uang dengan uang (sharf) dalam perbankan syariah dimasukkan dalam bidang jasa pertukaran uang, yang mensyaratkan pertukaran langsung tanpa penundaan pembayaran. Oleh karena itu dalam operasional perbankan syariah hanya digunakan dua objek lainnya, yaitu pertukaran antara barang dengan barang dan uang dengan uang.
1.         Barang dengan uang
Transaksi barang dengan uang yang dapat di lakukan dengan skim jual beli (ba’i) atau pun sewa menyewa (ujrah). Yang termasuk skim jual beli adalah:
·      Ba’i Al-Murabahah
Skim ini adalah bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dalam ba’i Al- murabahah, penjual harus menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya (mark up). margin keuntungan adalah selisih harga jual dikurangi harga asal yang merupakan pendapat bank. Pembayaran dari harga barang dilakukan secara tangguh atau dengan kata lain dibayar lunas pada waktutertentu yang disepakati. Dari segi hukumnya bertransaksi dengan menggunakan elemen murabahah ini adalah suatu yang dibenarkan dalam islam. Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.
Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
a.         Pembeli hendaklah betul-betul mengetahui modal sebenarnya dari suatu barang yang hendak dibeli.
b.         Penjual dan pembeli hendaklah setuju dengan kadar untung atau tambahan harga yang ditetapkan tanpa ada sedikit pun paksaan.
c.         Barang yang dijualbelikan bukanlah barang barang ribawi.
d.        Sekiranya barang tersebut telah dibeli dari pihak lain, jual beli yang pertama itu mestilah sah menurut perundangan Islam.
Sedangkan rukun jual beli murabahah adalah:
a.       Penjual (ba’i)
b.      Pembeli (musytariy)
c.       Barang (mabi’)
d.      Sighat dalam bentuk ijab kabul.

·      Ba’i Bithaman Ajil
Bagi orang yang membutuhkan biaya untuk keperluanproduktif ataupun konsumtif, ia dapat menggunakan konsep ini dalam berkontrak. Hal karena prinsip ini memberikan ruang kepada nasabah untuk membeli sesuatu dan cara pembayaran yang ditangguhkan arau secara diangsur (al-taqsid).Sedangkan yang termasuk skim sewa-menyewa (ujrah):
a.         Al-Ijrah (operasional Lease)
Konsep ini secara etimologi erarti upah atau sewa. Ahli sewa islam mendefinisikan dengan menjual manfaat, kegunaan, jasa dengan bayaran yang ditetapkan. Konsep ini tidak sama dan tidak dapat dikaitkan dengan jual-beli, sebab akad jal beli adalah kekal (muabbadan), sedangkan al-ijarah akad ini dalam masa teertentu (muaqqatan). Bank syariah mengaplikasikan elemen ini dengan berbagi bentuk produk yang diletakkanpada skim pembiayaan, diantara caranya adalah:
v  Bank dapat memberi pembiayaan kepada nasabah untuk tujuan mendapatkan penggunaan manfaat sesuatu harta dibawah elemen al-ijarah.
v  Bank terlebih dahulu membeli harta yang akan digunakan oleh nasabah, kemudian bank menyewakan kepada nasabah menurut tempo yang dikehendaki, kadar sewaan, dan syarat-syarat lain yang disetujui kedua belah pihak.
b.         Ijarah wa iqtina (finansial lease)
Skim ini merupakan bentuk lain dari ijarah di mana persewaan berakhir dengan perpindahan hak milik dan objek sewa. Skim ini lebih banyak dipakai pada perbankan karenalebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank sendiri tidak direpotkan untuk pemeliharan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.

2.    Uang dengan Barang.
Pertukaran ini dapat dilakukan dengan skim:
a.       Ba’i as-Salam (In-front Payment Sale)
Skim ini secara terminologi berarti menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan secara jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari. Di dalam masyarakat, skim ini lebih dikenal dengan jual beli pesanan atau inden. Dalam transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya pengukuran atau spesifikasi barang yang jelas dan keridhaan para pihak.
Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dan nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayar segera.
b.      Ba’i al-Istishna(istisna sale).
Skim ini adalah akad jual beli antara pemesan/pembeli dengan produsen atau penjual di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dahulu dengan kriteria yang jelas. Dalam literatur fikih klasik disebutkan istishna sebagai lanjutan dari ba’i as-salam, sehinggaa ketentuan dan aturannya mengikuti akad ba’i as-salam. Adapun yang membedakannya dengan as-salam adaah pada metode pembayaran sifat kontraknya.
Pada ba’i as-salam, pembayaran lebih bersifat fleksibel di mana tidak dilakukan secara lunas tetapi bertahap sesuai dengan barang yang diterima pada termin waktu tertentu. Sifat kontrak pada skim baik as-salam adalah mengikat secara asli (thabi’i) pada semua pihak dari semula, sedangkan pada istishna, bersifat mengikat ecara ikutan untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen.

3.        JASA LAYANAN PERBANKAN
1.    Al-Wakalah (Deputyship)
Adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.
Dalam aplikasinya dalam perbankan syariah, wakalah biasanya diterapkan dalam penerbitan Letter Of Credit(L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di Luar Negeri(L/C Ekspor).Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.

2.    Kafalah(Gauranty)
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin)ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang. Aplikasinya dalam dunia perbankan adalah penerbitan garansi bank (Bank Guarantee). Ada beberapa jenis wakalah, yaitu:
v  Kafalah bin Nafs, yaitu akad memberikan jaminan atas diri si penjamin (personal guarantee).
v  Kafalah bil-Maal, yaitu jaminan pembayaran atau pelunasan utang. Dalam aplikasinya di perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (Advance Payment Bond) atau jaminan pembayaran (Payment Bond).
v  Kafalah Mualaqah dan Munjazah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun waktu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk pelaksanaan suatu proyek (Performence Bond) atau jaminan penawaran (Bid Bond).
v  Kafalah Bit Taslim, yaitu penjaminan atas pengembalian atas barang sewa pada saat jangka waktu habis.

3.    Hawalah (Transfer Service)
Hawalah akad pemindahan utang atau piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang(muhal atau da’iin) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih). Akad hawalah diterapkan pada hal-hal berikut:
Ø  Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank.
Ø  Post-dated Check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar terlebih dahulu piutang tersebut.
Ø  Bill Discounting, dimana pada prinsipnya sama dengan pelaksanaan konsep hawalah, hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee yang tidak dikenal pada hawala.
4.      Ju’alah
Jualah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti referensi bank, informasi usaha dan lain sebagainya.




5.      Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan yang diterimanya. Barang yang dithan tersebut harus memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan dapat memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Aplikasinya dapat berupa lembaga gadai dan pada bank diterapkan sebagai collateral atas suatu pembiayaan/pinjaman.

6.      Al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)
Al-Qardh adalah pembelian harta kepada orang lain yang dapat ditagih kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fikih klasik, ard dikategorikan dalam akad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Sedangkan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah dapat berupa al-Qard al-Hasan sebagai bentuk sumbangsih kepada dunia usaha kecil. Di indonesia sendiri, dana untuk skim ini berasal dari dana Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah (BAZIS). Pada prinsipnya qardhul hasan merupakan pinjaman dengan tujuan kebajikan, dimana peminjam hanya perlu membayar jumlah uang yang dipinjamkan tanpa membayar tambahan.

7.      Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara uangdengan uang. Pengertian pertukaran uang yang dimaksud disini yaitu pertukaran valuta asing , dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau mata uang lainnya.


2.3.         Perkembangan Lembaga keuangan Bank Syariah
Lembaga keuangan  merupakan semua lembaga yang  bergerak dibidang keuangan, menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kedalam masyarakat, ada dua lembaga keuangan, yaitu diantaranya ada lembaga keuangan bukan bang dan lembaga keuangan khusus. Lembaga keuangan bukan bank yaitu lembaga atau badan yang melakukan kegiatan dibidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya kedalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Sedangkan lembaga keuangan  khusus yaitu suatu lembaga atau adan usaha yang melakukan kegiatan menghimpun dana  dari masyarakat dengan mengeluarkan surat-surat berharga yang dilakukan oleh perbankan.
Lembaga keuangan Islam kontemporer yaitu suatu lembaga atau badan yang bergerak dibidang keuangan yang kegiatannya menarik uang atau dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kedalam masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip Islam yang sudah dikombinasi berbagai macam sesuai dengan keadaan dimana perkembangan ekonomi di era kontemporer namun tetap berada dalam koridor Islam dan merujuk pada kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer.
Lembaga keuangan Islam kontemporer itu diantaranya adalah perbankan syariah yang gencar sekali dibicarakan oleh kalangan pakar ekonomi sekarang ini, karena perbankan syariah merupakan solusi didalam runyamnya krisis ekonomi global yang sedang melanda Negara-negara eropa. Ekonomi syariah tidak bisa di pengaruhi oleh krisis tersebut, sebaliknya ia dapat stabil dan maju. Salah satu factor yang membuat ekonomi Syariah tidak terpengaruh dengan krisis tersebut antara lain adalah karena ekonomi syariah yang dalam hal ini perbankan syari’ah tidak menggunakan system bunga.
Lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara muslim sudah cukup banyak berkembang. Di Indonesia sendiri kita dapat melihat UU No.7 Tahun 1990 tentang perbankan, yang antara lain menyebutkan bahwa dimungkinkannya berdiri suatu bank dengan sistem bagi hasil, sehingga regulasi tersebut menjadi dasar berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai bank pertama di indonesia yang mererapkan sistem syariah. Kemudian, UU tersebut diamandemen dengan UU No.10 Tahun 1988 tentang Perbankan, yang berpeluang diterapkannya dual banking system dalam perbankan nasional ini. Sehingga UU tersebut telah mendorong dibukanya divisi syariah di sejumlah bank konvensional.
Lembaga-lembaga keuangan dengan berbasis syariah ternyata tidak hanya berkembang di negara yang masyarakatnya mayoritas muslim. Telah banyak berdiri beberapa bank syariah di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Kita dapat melihat Citibank yang telah mendirikan Citi Islamic Investment Bank. Begitu pula ABN Amro Bank dengan ABN Amro Global Islamic Financial Services dan Investment Bank ANZ Australia dengan First ANZ International Moderaba. Selain itu, Standart Chartered Bank dan Chase Manhattan Bank adalah contoh lembaga keuangan raksasa Internasional yang telah mulai menggarap perbankan syariah.

Mereka bukan hanya membidik nasabah muslim melainkan juga nonmuslim. Karena mereka telah mengetahui bahwa dengan menerapkan sistem syariah ini akan membawa masyarakat secara umum kepada kehidupan yang lebih baik dan memberikan profit yang lebih baik pula dalam jangka panjang kepada bank ataupun lembaga keuangan yang menerapkan sistem syariah pada kegiatannya.
Dengan perkembangan ekonomi syariah, kini telah banyak berdiri lembaga keuangan internasional yang berbasis syariah. Lembaga-lembaga ini pada awalnya hanya didirikan oleh negara-negara yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Namun, setelah melihat perkembangan yang cukup baik dari lembaga-lembaga keuangan berbasis syariah itu dan pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian dunia, maka negara-negara besar yang berideologi kapitalis ataupun sosialis tertarik dengan sistem syariah ini. Sehingga berdirilah lembaga-lembaga keuangan berbasis syariah di negara-negara yang berideologi kapitalis atau sosialis dan mendorong berdirinya lembaga keuangan syariah multilateral yang tidak hanya didirikan oleh kelompok negara-negara muslim saja.

2.3.1.      LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BERBASIS SYARIAH
1.      Islamic Development Bank (IDB)
Lembaga keuangan dengan basis syariah ini berawal dari sebuah deklarasi dalam Konferensi Menteri Keuangan Negara Muslim di Jedah pada bulan Zulkaidah 1393 H (Desember 1973). Kemudian hal tersebut ditindaklanjuti pada sidang Gubernur Bank Sentral pada bulan Rajab 1395 H (Juli 1975) dan lembaga itu sendiri resmi lahir pada 15 Syawal 1395 H (20 Oktober 1975). Lembaga ini pada dasarnya bertujuan untuk menjadi suatu lembaga yang membantu pengembangan ekonomi dan sosial negara-negara muslim dan melakukan kerjasama dengan menggunakan prinsip syariah.
Lembaga ini berkantor pusat di Jedah, negara Kerjaan Saudi Arabia. Dua kantor regional didirikan di Rabat, Maroko, dan di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam kegiatan sehari-hari, IDB dipimpin oleh seoarng Direktur Eksekutif. Salah satu orang yang pernah menduduki jabatan tersebut adalah Karnean Perwataatmadja yang berasal dari Indonesia. Fungsi dari lembaga ini antara lain memberikan bantuan modal dan kredit hibah untuk proyek-proyek produktif dan memberikan assisten finansial bagi perusahaan-perusahaan di negara muslim anggota IDB untuk pengembangan ekonomi dan sosial negara tersebut.
Lembaga ini juga mengalokasikan dana khusus untuk dana asistensi bagi pengembangan ekonomi dan sosial bagi komunitas Islam di negara yang bukan anggota IDB.
Saat ini anggota IDB berjumlah 54 negara. Negara-negara anggota menyisihkan sejumlah dana untuk IDB yang nantinya dana tersebut akan digunakan untuk program-program pengembangan ekonomi dan sosial di negara muslim tersebut. Pada anggota juga otomatis akan menjadi anggota Organisasi Konferenasi Islam (OKI) dan dalam kondisi tertentu akan menjadi anggota Dewan Gubernur IDB.
Hingga akhir tahun 1412 H (Juni 1992), dana IDB sebesar 2 Miliar Islamic Dinars. Namun, sejak Muharram 1413 H, atas kesepakatan Dewan Gubernur IDB, dana atau modal IDB itu diperbesar menjadi 6 Miliar Islamic Dinars, yang terdiri dari 600 ribu saham dengan nilai pari per lembar saham 10 ribu Islamic Dinars. Nilai Islamic Dinars sama dengan SDR (Special Drawing Right) yang digunakan IMF.
2.      Islamic Financial Services Board (IFSB)
Di sela-sela sidang tahunan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April 2002, telah disepakati akan dibentuk satu institusi keuangan islam internasional. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pada tanggal 4 November 2002, delapan Gubernur Bank Sentral dari delapan negara Islam, ditambah dengan Presiden IDB, telah menandatangani pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) di Kuala Lumpur, Malaysia. Lembaga itu langsung dipimpin oleh seorang bankir senior yang berasal dari Sudan, Prof. Rifaat Ahmed Abdel Kari, Ph.D.
Lembaga multilateral yang akan memayungi lembaga keuangan syariah di dunia itu, didirikan oleh Bank Sentral dan otoritas moneter dari Indonesia, Bahrain, Iran, Kuwait, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Sudan, dan Islamic Development Bank (IDB).
Kelahiran IFSB bukan gagasan liar yang muncul secara spontan dalam sidang tahunan IMF tersebut. Tapi, gagasan ini sudah dirintis sejak lama dan embrionya tumbuh pada Consultative Meeting for Islamic Financial Products, di Praha, Ceko, 23 September 2000. Dari situlah komitmen negara-negara pendiri semakin kuat hingga dibentuk Technical Committee untuk mewujudkan lembaga tersebut. Setelah melalui sejumlah pertemuan penting, akhirnya terwujud juga pada tahun 2002.
Bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan syariah dunia, kehadiran IFSB ini memiliki arti sangat penting. Karena kini terdapat sekitar 200 lembaga perbankan Islam yang sedang tumbuh di 48 negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Barat. Bank-bank tersebut mengelola aset sekitar $ 170 miliar.
IFSB akan menyusun standar dan prinsip pokok pengawasan, pengaturan, dan penerapan syariah Islam oleh lembaga keuangan syariah di seluruh Indonesia. IFSB juga akan menjadi penguhubung sekaligus menjalin kerjasama dengan lembaga penetapan standar di bidang moneter dan stabilitas ekonomi. Di antara hal yang akan dilakukan, yang cukup penting adalah penyusunan standar operasional yang selaras dengan Basel Accord II. Basel Accord II sendiri masih dalam tahap persiapan akhir bagi pengimplementasian pada akhir tahun 2006, yang dikendalikan secara eksklusif oleh Bank for International Settlements (BIS) di Basel, Swiss. Intinya, fungsi IFSB seperti Bank for International Settlement (BIS).
Bagi Indonesia, keberadaan IFSB sangat strategis. Ini untuk menstandarisasi perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah di negeri ini sehingga standar operasi dan produknya sama secara internasional. Selain itu, melalui lembaga tersebut akan dapat dijalin kerja sama antar lembaga keuangan syariah di dunia.
3.       International Isntitute of Islamic Thought (IIIT)
International Institute of Islamic Thought (IIIT) adalah sebuah lembaga nonprofit, lembaga pendidikan dan budaya, yang fokus terhadap gagasan-gagasan ke-Islaman secara umum. Lembaga ini berdiri di Amerika Serikat pada 1981 atau 1401 H. Lembaga yang memiliki berbagai cabang di dunia ini, berkantor pusat di Herndon, Virginia.Lembaga ini memiliki visi mengembangkan umat melalui pendidikan, budaya, dan mengintegrasikan, pengetahuan Islam dengan kemanusiaan dan etika Islam dengan moral pengetahuan.
Seiring dengan pengembangan ekonomi syariah, IIIT juga turut berperan mengembangkan konsep, mensosialisasikan, dan menstandarisasikan ekonomi syariah. Salah satu program standarisasi ekonomi syariah adalah, The Registered Fellow in Islamic Finance (RFIF) yang merupakan sertifikasi keahlian keuangan syariah yang berskala internasional. Untuk menstandarisasi keahlian ini di Indonesia bekerja sama dengan Karim Business Consulting.
4.      Accounting and Auditing Organitation for Islamic Finance (AAOIFI)
Lembaga ini merupakan lembaga yang menstandarisasi sistem akunting dan audit keuangan lembaga-lembaga ekonomi syariah, khususnya lembaga keuangan di dunia. Lembaga ini berkantor pusat di London, Inggris, dan diakui oleh negara-negara yang memiliki lembaga keuangan syariah sebagai benchmark akuntansi dan audit keuangan syariah.Lembaga ini didirikan oleh Bank Dunia bekerja sama dengan Bahrain Monetery Agency. AAOIFI memiliki misi untuk menciptakan sistem keuangan syariah yang transparan, berkesinambungan, dan bersih.
Sejumlah standar akuntansi dan audit yang diterbitkan AAOIFI menjadi dasar bagi lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Standar Akuntansi Perbankan Syariah yang baru-baru ini disahkan Dewan Syariah Nasional merupakan peraturan akuntansi perbankan yang merujuk pada standar AAOIFI.

2.3.2.      LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
1.             Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan Usnit Usaha Bank Konvensional
BUS adalah bank syariah yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sementara itu, BPRS adalah benk syariah yang melaksanakan kegiatan usahanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Berdasarkan UU Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank konvensional yang hendak melaksanakan usaha syariah harus membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) yang khusus beroperasi dengan menggunakan sistem syariah.
2.             Baitulmal wat Tamwil
Atau disebut juga dengan “Koperasi Syariah”, merupakan lembaga keuangan syariah yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana kepada anggotanya dan biasanya beroperasi dalam skala mikro.
3.             Asuransi Syariah
Asuransi syariah memiliki kaitan erat dengan bank syariah. Berbagai pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah umumnya diasuransika dengan menggunakan skema syariah. Praktik asuransi ini dilakukan oleh bank syariah untuk mengantisipasi kegagalan bayar pembiayaan nasabah karena faktor meninggalnya nasabah maupun faktor lainnya yang disepakati dalam asuransi.
4.             Pasar Modal Syariahreksa Dana Syariah
Merupakan tempat perusahaan menerbitkan surat berharga, baik berupa saham maupun obligasi, agar memperoleh dana dari investor. Sejauh ini, untuk menyalurkan kelebihan likuiditasnya dipasar modal, bank syariah diizinkan sebatas pada pembelian obligasi syariah atau biasa disebut dengan Sukuk.
5.             Reksa Dana Syariah
Merupakan perusahaan sekuritas yang khusus memfasilitasi investor untuk menginvestasikan dananya pada surat berharga yang memenuhi kriteria syariah. Kerja sama dengan reksa dana syariah juga dijalin oleh bank syariah ketika hendak mengeluarkan saham atau obligasi di pasar modal guna mendapatkan dana dari masyarakat.
6.             Ar-Rahnu
Atau “Pegadaian Syariah” merupakan lembaga pegadaian yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.
7.             Lembaga Amil Zakatdan Badan Amil Zakat
Merupakan lembaga amil zakat yang diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia. LAZ didirikan oleh masyarakat, sedangkan BAZ didirikan oleh pemerintah. Berdasarkan UU Perbankan Syariah, bank syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) ataupun dana sosial lainnya untuk disalurkan kepada pengelola zakat.

2.3.3.           INSTITUSI PENDUKUNG PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
1.           Bank Indonesia
Bank Indonesia merupaka regulator bagi perkembangan seluruh bank umum dan BPR di Indonesia, termasuk BUS dan BPR syariah. Sebagai regulator, BI telah mengupayakan adanya payung hukum bagi berkembangnya bank syariah di Indonesia, yaitu dengan memasukkannya istilah prinsip syariah dalam undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan.
Secara khusus, BI membuat Cetak Biru Perbankan Syariah yang dijadikan acuan pengembangan bank syariah dari tahun 2003 hingga 2011. Pada pertengahan tahun 2008, pengaturan Bank Syariah dimuat dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU No. 21 Th 2008 tentang Perbankan Syariah
2.           Dewan Syariah Nasional-MUI dan Dewan Pengawas Syariah
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari MUI yang memuat fatwa terkait produk keuangan syariah. DSN memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut:
ü  Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada suatu lembaga keuangan syariah.
ü  Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
ü  Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
ü  Mengawasi penerapan fatwanyang telah diterapkan
Adapun DPS adalah badan terafiliasi yang ditempatkan oleh DSN dalam setiap lembaga keuangan syariah. DPS dalam menjalankan tugasnya wajib mengikuti fatwa DSN. Tugas dan wewenang DPS, adalah:
ü  Melakukan pengawasan secara periodik terhadap lembaga keuangan syariah yang berada dibawah pengawasannya.
ü  Mengajukan usulan pengembangan lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN.
ü  Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
ü  Komite Akuntansi Syariah-Ikatan Akuntan Indonesia (KAS-IAI)
KAS merupakan komite yang dibentuk IAI untuk merumuskan standar akuntansi syariah, yang dibentuk sejak Oktober 2005. KAS sampai akhir tahun 2006 telah menghasilkan konsep Bangun Prinsip Keuangan Syariah, serta 6 exposure draf PSAK Syariah. Draf yang telah dihasilkan KAS-IAI selanjutnya disahkan oleh DSAK pada tahun 2007.


BAB III
PENUTUP
3.1.         Kesimpulan

Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya.
Manfaat dari pendirian Bank Syariah adalah sebagai pelengkap keberadaan Bank Konvensional, bank syariah digunakan sebagai alternatif transaksi perbankan konvensional, yang kedua adalah sebagai pengakomodasi kelompok masyrakat yang antipasti terhadap dunia perbankan konvensional, dan yang terakhir sebagai salah satu upaya peningkatan mobilisasi dana masyarakat.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Prinsip dasar operasional bank Islam/ syariah tidak mengenal adanya konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingya adalah untuk tujuan komersial, Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/ kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan social tanpa adanya imbalan apapun.
Prinsip utama operasional bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Kegiatn operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan kedua sumber tersebut. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau jasa atas dana.
Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan atas dana yang digunakan atau ditipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Perlu diakui bahwa ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa sistem bunga yang ditetapkan oleh bank konvensional merupakan pelanggaran terhadap prinsip syariah.
Lembaga keuangan  merupakan semua lembaga yang  bergerak dibidang keuangan, menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kedalam masyarakat, ada dua lembaga keuangan, yaitu diantaranya ada lembaga keuangan bukan bang dan lembaga keuangan khusus. Lembaga keuangan bukan bank yaitu lembaga atau badan yang melakukan kegiatan dibidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya kedalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Sedangkan lembaga keuangan  khusus yaitu suatu lembaga atau adan usaha yang melakukan kegiatan menghimpun dana  dari masyarakat dengan mengeluarkan surat-surat berharga yang dilakukan oleh perbankan.
3.2.         Saran
Bank syariah harus memiliki sumber dana optimal sebelum disalurkan kembali ke masyarakat. Disamping itu, sebagai bang syariah yang di tuntut untuk mempraktikan kaidah Islam, maka perlu dipahami terlebih dahulu dana masyarakat dan transaksi-transaksinya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Umat Islam diharapkan dapat memahami perkembangan bank syariah dan mengembangkannya apabila dalam posisi sebagai pengelola bank syariah yang perlu secara cermat mengenali dan mengidentifikasi semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang potensial untuk pengembangan bank syariah.








DAFTAR PUSTAKA

Budi Santoso, A. Totok,dkk. (2000). Bank & Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat.
Syariah, Direktorat Perbankan. 2012.  Outlook Perbankan Syariah 2012, Jakarta: Bank Indonesia
Sulhan,  Muhammad dkk. 2008. Manajemen Bank. (Malang :UIN Malang Press)
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta : Ekonisia)
Syafi’I, Muhammad  Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.(Jakarta : Gema Insani)
Syafi’I Antonio dalam “Pembiayaan Bank Syariah” http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/pembiayaan-bank-syariah/ diakses pada 28 april 2012
Zainul Arifin dalam “Sistem Operasional Bank Syariah” http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/prinsip-prinsip-operasional-bank-islam/ diakses pada 28 April 2012
Suwiknyo, Dwi. Analisis laporan Keuangan Perbankan Syariah. Yoyakarta: Pustaka Pelajar,2010.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Alvabet: Jakarta
Bank Indonesia. 2007. Statistik Perbankan Syariah dalam. www.bi.go.id
Hakim, Cecep Maskanul. 2008. Problem Pengembangan Produk Dalam Bank Syariah.
Available at www.vibiznews.com.


2 komentar: